KEHANCURAN
ALAM SEMESTA
MENURUT
PANDANGAN BUDDHIS
Kutipan dari Visuddhi magga (Bab XIII, 28-65) mengenai
apa yang akan terjadi di akhir jaman, di masa yang akan datang, lama sekali
setelah kemunculan Buddha terakhir pada siklus bumi sekarang ini yaitu Buddha
Metteyya, ada suatu masa muncullah awan tebal yang menyirami seratus milyar
tata surya (Kotisatasahassa cakkavalesu).
Manusia
bergembira, mereka mengeluarkan benih simpanan mereka, dan menanamnya, tetapi
ketika kecambah mulai tumbuh cukup tinggi bagi anak sapi untuk merumput, tiada
lagi hujan yang turun setetespun sejak saat itu. Inilah yang dikatakan oleh
Sang Buddha, ketika beliau mengatakan “para bhikkhu pada suatu kesempatan yang
akan datang setelah banyak tahun, banyak ratusan tahun, banyak ribuan tahun,
banyak ratusan ribu tahun tidak turun hujan” (Anguttara Nikaya IV, 100). Para
mahluk yang hidupnya bergantung dari air hujan menjadi mati dan terlahir
kembali di alam Brahma, begitu juga para dewa yang hidupnya tergantung pada
buah-buahan dan bunga. Setelah melewati periode yang sangat panjang dalam
kekeringan seperti ini, air mulai mengering disana sini, selanjutnya ikan dan
kura-kura jenis tertentu mati dan terlahir kembali di alam Brahma, dan demikian
juga para mahluk penghuni neraka, ada juga yang mengatakan para mahluk penghuni
neraka mati dengan kemunculan matahari ketujuh (mati dan terlahir lagi di alam
brahma).
Dikatakan bahwa tak ada kelahiran di alam Brahma tanpa
memiliki Jhana (tingkat konsentrasi dalam meditasi), dan beberapa diantara
mereka karena terobsesi makanan (kelaparan), tak mampu mencapai Jhana.
Bagaimana mungkin mereka dapat terlahir disana? Yaitu dengan Jhana yang mereka dapatkan
sesudah terlahir di alam dewa dan melatih meditasi disana. Sebenarnya
seratus ribu tahun sebelum kiamat dewa dari alam sugati yang disebut Loka
Byuha (world marshall) telah mengetahui bahwa seratus ribu tahun yang akan
datang akan muncul akhir masa dunia (akhir kappa). Kemudian mereka berkeliling
di alam manusia, dengan rambut dicukur, kepala tanpa penutup, dengan muka yang
memelas, menghapus air mata yang bercucuran, memakai pakaian warna celupan,
dengan keadaan pakaian semrawut mereka mengumumkan kepada manusia , “ Tuan-tuan
yang baik, Seratus ribu tahun dari sekarang akan tiba pada akhir dunia (akhir
kappa), dunia ini akan hancur, bahkan samudra pun akan mengering. Bumi ini dan
sineru raja semua gunung, akan terbakar habis dan musnah, kehancuran bumi akan
merambat sampai ke alam brahma, kembangkanlah metta bhavana (meditasi
cinta kasih) dengan baik, kembangkanlah karuna (belas kasihan),
mudita (simpati) dan juga upekkha (keseimbangan batin,
yaitu tidak marah bila dicela dan tidak besar kepala bila dipuji) rawatlah
ibumu, rawatlah ayahmu, hormatilah sesepuh kerabatmu”.
Setelah para dewa dan manusia mendengar kata-kata ini
mereka pada umumnya merasa bahwa suatu hal yang penting harus segera dilakukan,
mereka menjadi baik terhadap sesama, dan membuat pahala (kusalakamma),
melatih cinta kasih dan sebagainya, akibatnya mereka terlahir kembali di alam
dewa, di sana mereka mendapatkan makanan dewa, kemudian melatih meditasi kasina
dengan obyek udara lalu mencapai jhana. Yang lainnya terlahir di alam dewa
sugati (sense sphere) melalui kamma yang dipupuk dalam kehidupan
sebelumnya (Aparapariya vedaniyena kammena), yaitu kamma yang akan
berbuah dimasa mendatang. Sebab tidak ada makhluk hidup yang menjelajahi
lingkaran kelahiran kembali tanpa memiliki simpanan kamma (baik maupun buruk)
masa lampau yang akan berbuah di masa mendatang. Mereka pun mencapai jhana
dengan cara yang sama. Pada akhirnya semuanya akan terlahir kembali di alam
brahma diantaranya melalui pencapaian jhana di alam dewa yang menyenangkan
dengan cara ini. Setelah waktu yang lama sekali hujan tidak turun, matahari
kedua muncul. Dan ini diterangkan oleh sang Bhagava dengan diawali kata-kata,
“Para Bhikkhu, ada masanya dimana... (Angguttara Nikaya IV, 100). Dan
selanjutnya ada di dalam Satta Suriya Sutta.
Ketika matahari kedua telah muncul, tak bisa lagi
dibedakan antara siang dan malam. Setelah matahari yang satu tenggelam yang
lain terbit, dunia merasakan terik matahari tanpa henti, tetapi tidak ada dewa
yang mengatur matahari pada menjadi
baik terhadap sesama, dan membuat pahala (kusalakamma), melatih cinta
kasih dan sebagainya, akibatnya mereka terlahir kembali di alam dewa, di sana
mereka mendapatkan makanan dewa, kemudian melatih meditasi kasina dengan obyek
udara lalu mencapai jhana.
Yang lainnya terlahir di alam dewa sugati melalui
kamma yang dipupuk dalam kehidupan sebelumnya (Aparapariya vedaniyena
kammena), yaitu kamma yang akan berbuah dimasa mendatang. Sebab tidak ada
makhluk hidup yang menjelajahi lingkaran kelahiran kembali tanpa memiliki
simpanan kamma (baik maupun buruk) masa lampau yang akan berbuah di masa
mendatang. Mereka pun mencapai jhana dengan cara yang sama. Pada akhirnya
semuanya akan terlahir kembali di alam brahma diantaranya melalui pencapaian
jhana di alam dewa yang menyenangkan dengan cara ini. Setelah waktu yang lama
sekali hujan tidak turun, matahari kedua muncul. Dan ini diterangkan oleh sang
Bhagava dengan diawali kata-kata, “Para Bhikkhu, ada masanya dimana...
(Angguttara Nikaya IV, 100). Dan selanjutnya ada di dalam Satta Suriya Sutta.
Ketika matahari kedua telah muncul, tak bisa lagi
dibedakan antara siang dan malam. Setelah matahari yang satu tenggelam yang
lain terbit, dunia merasakan terik matahari tanpa henti, tetapi tidak ada dewa
yang mengatur matahari pada waktu kehancuran kappa berlangsung seperti pada
matahari yang biasa, (karena dewa matahari pun mencapai jhana dan terlahir
kembali di alam brahma). Pada waktu matahari yang biasa bersinar awan kilat dan
uap air berbentuk gelap memanjang melintasi angkasa, tetapi pada kehadiran waktu kehancuran kappa berlangsung seperti pada matahari
yang biasa, (karena dewa matahari pun mencapai jhana dan terlahir kembali di
alam brahma). Pada waktu matahari yang biasa bersinar awan kilat dan uap air
berbentuk gelap memanjang melintasi angkasa, tetapi pada kehadiran sebelum mencapai alam Brahma Abhassara. Api itu tidak lenyap, api
itu hanya lenyap setelah semua yang berbentuk musnah terbakar, seperti api yang
membakar lemak yang berasal dari susu dan minyak, tidak meninggalkan debu.
Angkasa yang di atas dan di bawah sekarang menjadi satu dalam
kegelapan yang mencekam yang meliputi alam semesta. Setelah suatu masa yang
lama sekali berlalu, munculah awan yang sangat besar, pada mulanya hujan turun
perlahan-lahan kemudian bagai bah turun tetesan yang lebih besar seperti
tangkai teratai, seperti pipa, seperti antan, seperti tangkai palem, terus
bertambah besar dam menyirami semua tempat yang bekas terbakar pada seratus
milyar tata surya sampai menjadi terendam. Kemudian angin (energi) yang berada
di bawah dan sekelilingnya muncul dan menekan serta membulatkannya, seperti
butir air di daun teratai.
Dikarenakan tertekan oleh udara, menyatu dan berkurang,
maka bentulmya mengecil pada waktu alam brahma yang lebih rendah muncul pada
tempatnya dan tempat alam dewa yang lebih tinggi muncul lebih dahulu pada
tempatnya setelah turun sampai batas tinggi sebelumnya (alam-alam dewa
Catumaharajika dan Tavatimsa muncul bersamaan dengan munculnya bumi karena
kedua alam tersebut terkait dengan bumi), angin yang kencang muncul dan
menghentikan proses tersebut serta menahannya tetap pada posisi itu, seperti
air pada teko yang di tutup lubangnya. Setelah proses itu selesai, humus yang
penting muncul di atas permukaannya, yang memiliki warna, bau dan rasa seperti
lapisan yang berada di atas permukaan tajin (berasal dari cucian beras). Kemudian
para makhluk yang lebih awal terlahir di alam Brahma Abhassara turun dari sana
oleh karena habisnya usia atau ketika kamma baik mereka (yang menopang
kehidupan di sana) telah habis maka mereka terlahir kembali di sini, tubuh
mereka bercahaya dan melayang layang di angkasa. Setelah memakan humus, mereka
dikuasai oleh kemelekatan seperti yang di uraikan dalam Aganna Sutta (Digha
Nikaya III 85). Periode waktu
munculnya awan yang mengawali kehancuran kappa sampai apinya padam disebut satu
Asankheyya, dan disebut masa penyusutan (contraction/pali: samvatto).
Setelah padamnya api sampai timbulnya awan besar pemulihan yang menyirami
seratus milyar tata-surya merupakan Asankheyya kedua, dan disebut masa setelah
penyusutan (samvattathayi).
Periode setelah pemulihan sampai munculnya bulan dan
matahari merupakan asankheyya ketiga dan disebut pengembangan (expansion/vivatto).
Periode setelah munculnya bulan matahari sampai munculnya awan yang mengawali
kehancuran merupakan asankheyya keempat dan disebut masa setelah ekspansi (vivatthayi).
Empat asankheyya ini disebut satu maha kappa. Inilah pengertian mengenai
kehancuran dan pembentukan kembali alam semesta oleh karena api.
Ada tiga macam kiamat dalam agama Buddha yaitu, kiamat
yang disebabkan oleh api, air dan angin. Awal dari kehancurannya adalah sama,
yaitu dengan munculnya awan besar yang menjadi awal. Perbedaannya adalah jika
pada kehancuran karena api matahari kedua muncul maka pada kehancuran karena
air muncullah awan kaustik yang maha besar (kharudaka). Pada awalnya hujan
muncul perlahan-lahan, kemudian sedikit demi sedikit bertambah besar sampai
menyirami seratus milyar tata surya, setelah tersentuh air kaustik, bumi gunung
dan sebagainya mencair dan semua air yang timbul ditunjang oleh angin (energi).
Air merendam semua yang ada di bumi sampai alam jhana kedua terus naik hingga
ke alam jhana ketiga yang lebih rendah dan berhenti sebelum sampai di alam
subhakinha. Air itu tak akan surut apabila ada benda yang bersisa walaupun
hanya sebesar atom, dan hanya akan surut apabila semua benda yang berbentuk
telah larut.
Awal dari semuanya yaitu: angkasa yang di atas dan angkasa yang di
bawah bersatu diselimuti kegelapan semesta yang mencekam, telah diterangkan
perbedaannya yaitu pada kehancuran karena api alam maha brahma lebih dahulu
muncul dan makhluk-makhluk terlahir dari alam Brahma Abhassara sedangkan pada
kehancuran karena air para makhluk turun dari alam subhakinha ke alam Brahma
yang lebih rendah dan ke alam-alam yang berada dibawahnya. Periode munculnya
awan besar yang mengawali kehancuran sampai surutnya air kaustik disebut satu
asankheyya, periode surutnya air sampai munculnya awan pemulihan disebut satu
asankheyya, periode munculnya awan pemulihan sampai... dan seterusnya, keempat
asankheyya ini disebut satu maha kappa, inilah bentuk penghancuran kappa dengan
air (zat cair)’
Kehancuran alam semesta yang disebabkan oleh angin mirip
dengan air dan api, yaitu pertama munculah awan yang mengawali kehancuran
kappa, tetapi ada perbedaannya, bila penghancuran karena api muncul matahari
kedua, maka pada kehancuran yang disebabkan oleh angin muncullah angin (unsur
gerak) yang menghancurkan kappa itu, pertama muncullah angin yang menerbangkan
debu (flue) kasar kemudian flue halus lalu pasir halus, pasir kasar, kerikil,
batu dan seterusnya kemudian sampai mengangkat batu sebesar batu nisan dan
pohon-pohon besar yang tumbuh ditempat yang tak rata semua tertiup dari bumi ke
angkasa luar dan tidak jatuh kembali ke bumi tetapi hancur berkeping-keping dan
musnah.
Kemudian angin muncul dari bawah permukaan bumi dan
membalikkan bumi melemparnya ke angkasa. Bumi hancur menjadi pecahan
kecil-kecil berukuran seratus yojana, dua, tiga, empat, lima ratus yojana dan
terlempar ke angkasa juga, hancur berkeping-keping lalu musnah. Gunung-gunung
di tatasurya dan gunung Sineru tercabut ke luar angkasa, disana gunung-gunung
ini saling bertumbukan hingga berkeping-keping lalu lenyap.
Dengan cara ini angin menghancurkan alam para dewa yang
dibangun di bumi (di gunung Sineru) dan yang dibangun di angkasa, kekuatan
angin itu meningkat terus dan menghancurkan keenam alam dewa yang penuh
kebahagiaan indera kamasugati (dari alam catumaharajika sampai ke alam
paranimitavasavati), seratus milyar (lit: seratus ribu juta) tatasurya ikut
hancur juga. Tata-surya bertumbukan dengan tata surya Gunung Himalaya dengan
Gunung Himalaya, Sineru dengan Sineru sampai hancur berkeping-keping dan
musnah.
Angin menghancurkan dari bumi sampai alam brahma Jhana
ketiga dan berhenti sebelum mencapai alam vehapphala yang berada pada
alam jhana keempat. Setelah menghancurkan semuanya angin kembali mereda,
kemudian semuanya kembali seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, ‘angkasa
yang di atas menjadi satu dengan angkasa yang di bawah dalam kegelapan yang
mencekam dan alam yang kembali muncul pertama kali adalah alam brahma
subhakinha.
Periode waktu awan besar awal kehancuran muncul sampai
surutnya angin yang menghancurkan adalah satu asankheyya kappa, periode
surutnya angin sampai munculnya awan pemulihan adalah satu asankheyya kappa
juga dan seterusnya. Empat asankheyya kappa ini membentuk satu mahakappa,
beginilah cara kehancuran yang disebabkan oleh angin.
Apakah yang menyebabkan kehancuran dunia seperti ini? Tiga akar
akusala kamma (perbuatan buruk) adalah penyebabnya, apabila salah satu akar
akusala kamma lebih menonjol maka dunia akan hancur oleh sebab itu, contohnya
bila lobha (keserakahan materi) lebih menonjol maka dunia akan hancur oleh api,
bila dosa (kebencian) lebih menonjol maka dunia akan hancur oleh air, dan jika moha
yaitu kegelapan batin yang disebabkan oleh ketidak mampuan seseorang
membedakan yang baik dan yang buruk (bukan kebodohan dikarenakan tidak
bersekolah) lebih menonjol maka dunia akan hancur oleh angin, ada juga yang
beranggapan bila kebencian lebih menonjol dunia akan hancur oleh api, dan bila lobha
yang lebih menonjol dunia akan hancur oleh air. Tujuh
kali hancur oleh api, yang kedelapan hancur oleh air. setelah tujuh kali hancur
oleh air tujuh kali lagi hancur oleh api, enam puluh tiga maha kappa telah
berlalu dan pada kappa keenam puluh empat maka giliran angin yang menghancurkan
sehingga alam Subhakhina juga ikut hancur di mana usia maksimumnya adalah tepat enam puluh empat kappa. “Dunia
ini akan hancur oleh angin, air dan api …’ dan berlangsung sejak masa yang tak
terhitung dan akan terus berlangsung tanpa dapat diketahui kapan akan berakhir.