Friday, April 24, 2015

Dharmayatra (candi-candi Buddha di Jateng, Keraton Yogyakarta dan Makam Imogiri)

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai mahasiswa Buddhis yang mempelajari ajaran Buddha tentu dalam setiap kegiatan memiliki dasar-dasar yang mengacu pada ajaran Buddha. Sama halnya dengan kegiatan Dharmayatra, kegiatan positif ini merupakan suatu bentuk penghormatan umat Buddha yang melakukan kunjungan ke situs Buddhis, dimana situs tersebut telah menjadi saksi dari perkembangan agama Buddha di Indonesia.
  Pada umumnya kegiatan ini didasari oleh keyakinan yang teguh terhadap ajaran Buddha. Dengan diadakannya kegiatan ini maka keyakinan terhadap ajaran Buddha semakin kokoh. Dengan demikian adapun hal yang mendasari umat Buddha melakukan Dharmayatra yang mengacu oleh sabda Sang Buddha, seperti berikut:
Sang Buddha bersabda “Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian maka engkau akan pergi dari dunia ini ke surga”. (Pesala, 2002:100). Dalam Digha Nikaya,  Mahaparinibbana Sutta, Maha Vagga Pali, Sang Buddha juga menguraikan tentang pentingnya Dhamayatra dilakukan sebagai umat yang berbakti, yaitu sebagai berikut:
Menghormati dan menghargai tempat-tempat suci mereka dan mereka dengan taat melaksanakan puja bhakti, baik di tempat suci yang ada di kota maupun ada di luar kota.
“Ananda, bagi mereka yang dengan keyakinan yang kuat melakukan ziarah ketempat-tempat itu, maka setelah mereka meniggal dunia mereka akan terlahir kembali di alam surga (saga loka)”. (Walshe, 2009:242).

Berdasarkan penggalan kutipan sabda Sang Buddha dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan Dharmayatra dengan dilandasi keyakinan yang kokoh terhadap tempat-tempat bersejarah agama Buddha maka seseorang akan memperoleh manfaat yang luar biasa yaitu ia akan memperolah ketenangan dan kebahagiaan di dunia ini dan apabila meninggal dunia maka ia akan terlahir di alam bahagia pula (Surga loka).
Selain dasar-dasar teologis diatas juga terdapat dasar hukum yang mendasari kegiatan Dharmayatra ini.
1.     Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).
2.     Peraturan Pemerintahan RI Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3859).
3.     Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496).
4.     Peraturan Pemerintahan Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769).
5.     Peraturan Presidan No.76 tahun 2005 tentang pendirian STABN Sriwijaya Tangerang Banten.
6.     Peraturan Menteri Agama RI No.7 Tahun 2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja STABN Sriwijaya Tangerang Banten.
  1. Keputusan Menteri Agama RI Nomor: 146 Tahun 2012 Tentang Statuta Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten.
Adapun beberapa sejarah yang dapat dirangkum oleh penulis berdasarkan situs yang dikunjungi, antara lain :
1.     Candi Plaosan
Candi Plaosan berada di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Candi Plaosan ini tidak jauh dari Candi Sewu, kira-kira 1,5 km jarak tempuhnya . Candi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Candi Palosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Candi Plaosan merupakan candi yang bercorak agama Buddha. Menurut para ahli Candi Plaosan diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Kerajaan Mataram Hindu, yaitu pada awal abad ke-9 M. Dalam Prasasti Cri Kahulunan (842 M) menyatakan bahwa Candi Plaosan Lor dibangun oleh Ratu Sri Kahulunan, yang didukung oleh suaminya. Menurut De Casparis, Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani, putri Raja Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Sang Putri  memeluk agama Buddha dan menikah dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu.
Candi Plaosan Lor merupakan candi yang lebih luas daripada Candi Plaosan Kidul. Candi Plaosan Lor memiliki dua Arca Dharmapala yang saling berhadapan dan terletak didepan pintu masuk utara dan selatan. Posisi kedua Arca Dharmapala yaitu, duduk diatas kaki kanannya terlipat dan kaki kirinya ditekuk didepan tubuh. Tangan kanannya memegang gada, sedangkan tangan kiri bertumpu pada lutut kaki. Di halaman utara terdapat 6 buah stupa besar dan di pusat kompleks Candi terdapat dua bangunan bertingkat yang merupakan candi utama. Kedua bangunan di Candi utama menghadap kebarat dan masing-masing Candi dikelilingi dengan pagar batu. Dinding batu yang memagari masing-masing candi utama dikelilingi oleh candi perwara yang semula berjumlah 174, terdiri atas 58 candi kecil berdenah dasar persegi dan 116 bangunan berbentuk stupa. Tujuh candi berbaris di masing-masing sisi utara dan selatan setiap candi utama, 19 candi berbaris sebelah timur atau belakang kedua candi utama, sedangkan 17 candi lagi berbaris di depan kedua candi utama. Keadaan candi perwara saat ini hampir keseluruhannya hancur. Bangunan utama yang dikelilingi pagar batu di sebelah barat terdapat sebuah gerbang berupa gapura Paduraksa, bagian atap dihiasi dengan mahkota kecil, puncak atap gapura berbentuk persegi dengan mahkota kecil diatasnya. Masing-masing bangunan candi utama berdiri di atas kaki setinggi sekitar 60 cm tanpa selasar yang mengelilingi tubuhnya. Tangga menuju pintu dilengkapi dengan pipi tangga yang memiliki hiasan kepala naga di pangkalnya. Bingkai pintu dihiasi pahatan bermotif bunga dan sulur-suluran. Di atas ambang pintu terdapat hiasan kepala Kala tanpa rahang bawah. Sepanjang dinding luar digambarkan relif yang menceritakan seorang perempuan dan laki-laki.
Candi Plaosan Kidul terletak di selatan Candi Plaosan Lor, terpisah oleh jalan raya. Bila di kompleks Palosan Lor kedua candi utamanya masih berdiri dengan megah, di kompleks Candi Plaosan Kidul candi utamanya sudah tinggal reruntuhan. Yang masih berdiri hanyalah beberapa candi perwara. Candi Kidul runtuh karena peristiwa gempa bumi dan letusan gunung berapi.

2.     Candi Prambanan
Candi Prambanan merupakan candi yang bercorak agama Hindu dan merupakan candi yang terbesar di Indonesia yang didirikan pada abad ke-9 M. Candi Prambanan dipersembahkan kepada Trimurti, tiga utama Dewa Hindu yaitu Brahma sebagai dewa Pencipta, Wishnu sebagai Dewa Pemelihara, dan Siwa sebagai Dewa Pemusnah. Berdasarkan Prasasti Siwagrha, nama asli kompleks Candi Prambanan adalah Siwagrha dalam bahasa Sansekerta yang bermakna rumah Siwa, dan di Garbagriha (candi utama)  candi ini merupakan tempat bersemayamnya arca Siwa Mahadewa yang memiliki tinggi 3 m yang menunjukan bahwa Dewa Siwa yang diutamakan. Candi Prambanan terletak di sebelah timur dari kota Jogyakarta yang berjarak kurang lebih 17 km, kompleks Candi Prambanan menghadap kearah timur, dengan bentuk yang menyerupai gunungan pada wayang kulit setinggi 47 m.
Pembangunan Candi Hindu ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan Candi Buddha Borobudur dan Candi Sewu yang tidak jauh dari Candi Prambanan. Pembangunan Candi Hindu ini menandakan kembalinya kekuasaan keluarga Sanjaya. Hal ini menandai Wangsa kembar yang berbeda keyakinan dan saling bersaing, Wangsa Sanjaya menganut agama Hindu dan Wangsa Syailendra menganut agama Buddha. Pembangunan Candi ini menandai bahwa Hindu aliran Siwa telah mendapatkan dukungan dari keluarga kerajaan, sebelumnya Wangsa Syailendra lebih cenderung mendukung Buddha Mahayana. Mengenai hal ini Kerajaan Medang Mataram beralih dukungan keagamaan dari Buddha Mahayana menjadi pemuja Dewa Siwa.
Candi Prambanan dibangun pada masa Rakai Pikatan sekitar  tahun 850 M, kemudian dikembangkan oleh Raja Lokapala dan Raja Balitung Maha Sambu pada masa kerajaan Medang Mataram. Candi Prambanan yang megah ini juga berfungsi sebagai Candi agung kerajaan Mataram, untuk tempat pergelaran upacara penting acara kerajaan. Pada masa kejayaan Pandita Brahmana dan murid-muridnya berkumpul dipelantaran liar candi untuk belajar Kitab Veda dan melaksanakan ritul upacara Hindu. Sementara kerajaan Mataram terletak di dekeat Prambanan di Dataran Kewu.
Sekitar tahun 930, kerajaan pindah ke Jawa Timur oleh Empu Sindok yang mendirikan Wangsa Isyana, perpindahan ini dikarenakan letusan Gunung Merapi, selain itu juga karena perebutan dan peperangan kekuaaan. Pada abad ke-16 bangunan candi runtuh akibat gempa bumi di Jogyakarta. Candi Prambanan setelah runtuh dan tidak terawat warga sekitar candi tidak mengetahui latar belakang dan raja serta kerajaan yang membangun candi. Sehingga rakyat setempat menciptakan dongeng tentang asal mula  keberadaan candi Prambanan, diwarnai dengan cerita fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh jin dan dedemit hanya membutuhkan waktu satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca. Imajinasi rakyat tersebuat dapat menceritakan  legenda Candi Prambanan dengan kisah Roro Jonggrang.
Pemugaran Candi Prambanan dimulai pada tahun 1918, tetapi yang sebenarnya dimulai pada tahun 1930.an. Pada tahun 1902-1903 Theodoor  van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926 dilanjutkan oleh Purbakala di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai aturan arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993.

3.     Candi Sewu
Candi Sewu merupakan candi bercorak agama Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya 800M di sebelah utara candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks Candi Buddha ke-2 setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu lebih tua dari Candi Prambanan. Jumlah Candi Sewu aslinya terdapat 249 Candi, namun oleh masyarakat setempat dinamakan Candi Sewu dalam bahasa Jawa yang berdasarkan kisah Roro Jonggrang. Candi ini terdiri dari sebuah candi yang agak besar di kelilingi oleh banyak candi-candi kecil. Dalam candi besar terdapat ruangan yang dahulu berisi rupang, begitu pula di candi-candi kecil yang juga memiliki ruang. Kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli bangunan ini adalah “Manjus’ri grha” (Rumah Manjusri). Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 M pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 – 784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno. Kompleks candi ini mungkin dipugar, diperluas, dan rampung pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra.
Adanya candi Sewu yang bercorak agama Buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak agama Hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu merupakan Candi Kerajaan Buddha, sekaligus pusat kegiatan agama Buddha yang penting di masa lalu. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa kuno.
Saat memasuki candi Sewu terlebih dahulu melewati kawasan candi Prambanan, candi Bubrah, dan candi Lumbung. Perjalanan yang ditempuh sekitar satu kilometer dari candi Prambanan. Candi Sewu pada saat ini sedang direnovasi karena banyak bangunan candi yang rusak akibat gempa pada bulan mei 2006 di Jogyakarta, Jawa tengah bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.

4.     Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko merupakan situs purbakala yang merupakan kompleks sisa-sisa bangunan yang berada kurang lebih 3 km sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan. Candi Ratu Boko memiliki luas sekitar 25 hektar. Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan pada abad ke-8 pada masa Wangsa Syailendra oleh Rakai Panangkaran dari kerajaan Medang, Mataram Hindu. Pola perletakan sisa bangunan merupakan bekas kraton atau Istana Raja.
Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat, Ratu Boko yang berarti dalam bahasa jawa yaitu Raja Bangau adalah Raja dari Loro Jonggrang.  Candi Ratu Boko terletak di kecamatan Prambanan, kabupaten Sleman, Yogyakarta dan terletak pada ketinggian 200 m diatas permukaan laut.
Prasasti Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M telah ditemukan tulisan dalam Situs Ratu Boko. Dalam Prasasti tersebut tertulis seorang tokoh yaitu Rakai Panangkara pada tahun 746-784 M serta menyebut kawasan vihara diatas bukit yang dinamakan Abhayagiri Vihara yang artinya vihara yang brada di atsa bukit bebas dari mara bahaya. Rakai Panangkaran telah mengundurkan diri sebagai Raja karena ingin mendapatkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan. Salah satu cara untuk mencapai ketenangan dan memusatkan pikiran dengan cara mendirikan Vihara Abhayagiri pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran menganut agama Buddha sehingga bangunan Abhayagiri Vihara berlatar belakang agama Buddha sebagai bukti yaitu Arca Dyana Buddha. Tetapi ditemukan unsur-unsur agama Hindu di Situs Ratu Boko seperti Arca Durga, Ganesha, dan Yoni.
Kompleks Situs ini kemudian diubah menjadi Kraton dengan dilengkapi benteng pertahanan bagi raja bawahan yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Berdasarkan Prasasti Siwagraha tempat ini sebagai kubu pertahanan yang terdiri beratus-ratus batu oleh Balaputra. Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.




5.     Candi Kalasan
Candi Kalasan atau disebut sebagai Candi Kalibening terletak di Desa Kalibening, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Candi Kalasan pada awalnya telah ditemukan dengan adanya nama Prasasti Kalasan. Prasasti ini ditulis dengan menggunakan huruf Pranagari, pada tahun 778 M. Prasasti ini merupakan sebuah bangunan sebagai tempat suci untuk menyembah Dewa Tara dan terdapat sebuah Vihara untuk para Pendeta Buddha. Pembangunan Candi berlangsung pada masa pemerintahan Maharaja Tejapurnapana Panangkaran atau Rakai Panangkaran yang berasal dari dinasti Syailendra.
                        Pada tahun 750-850 M terdapat dua dinasti besar yang menguasai Jawa Tengah, bagian utara dikuasi oleh Dinasti Sanjaya yang memeluk agama Hindu sedangkan bagian selatan dikuasai oleh Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha. Kekuatan masing-masing dinasti telah membuat candi yang ada didua wilayah masing-masing memiliki corak yang berbeda. Namun kedua Dinasti tersebut disatukan dengan pernikahan antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dan Pramordawardhani, anak dari Raja Maharaja Samarattungga dari Dinasti Syailendra pada tahun 838-851 M.
                        Satu hal yang cukup unik yang bisa ditemukan dari Sejarah Candi Kalasan ini yaitu Vajralepa atau Bajralepa, yaitu semacam lapisan plester untuk melapisi bagian luar candi terutama pada reliefnya. Bajralepa ini sangat jarang ditemui pada bangunan candi lainnya di Indonesia. Namun bajralepa ini bisa ditemui di sebuah candi yang berada tak jauh dari candi Kalasan, yaitu Candi Sari.
                        Kedua candi ini memiliki kemiripan arsitektur, selain bajralepa hal menarik lainnya adalah candi ini memiliki relief yang dipahat dengan sangat halus sekali. Reliefnya berupa sulur-sulur, ceruk, relung, stupa, dan juga pahatan arca-arca manusia kerdil yang disebut dengan Gana.
                        Walaupun banyak sekali potongan batu yang telah melalui proses pemugaran dan penataan kembali, ternyata banyak sekali bagian candi yang telah hilang.

6.     Candi Sari
Candi Sari berada di Desa Bendan, Kelurahan Tirtamartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Terletak sekitar 10 Km dari pusat Yogyakarta, hanya sekitar 3 km dari Candi Kalasan. Menurut perkiraan candi ini dibangun pada abad ke-8 M, yaitu pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, bersamaan dengan masa pembangunan Candi Kalasan. Kedua candi tersebut memang memiliki banyak kemiripan, baik dari segi arsitektur maupun reliefnya. Keterkaitan kedua candi ini diterangkan dalam Prasasti Kalasan (700 Saka/778 M).  Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan vihara untuk para Bhikkhu. Untuk pemujaan Dewi Tara dibangun Candi Kalasan, sedangkan untuk tempat tinggal para Bhikkhu dibangun Candi Sari yang fungsinya sebagai tempat tinggal terlihat dari bentuk bangunan bahwa candi ini merupakan bangunan agama Buddha terlihat dari stupa yang terdapat di puncaknya.
Candi Sari ditemukan kembali pada awal abad ke-20 dalam keadaan rusak berat. Pemugaran pertama dilaksanakan antara tahun 1929-1930. Mengenai pemugaran tersebut, Kempers berpendapat bahwa hasilnya kurang memuaskan, dalam arti pemugaran tersebut belum berhasil mengembalikan keutuhan bangunan aslinya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bagian candi yang hilang. Selain itu terdapat bagian-bagian bangunan yang sudah rusak termakan usia, terutama yang bukan terbuat dari batu.
Pada abad ke 19, sekitar 130 m dari Candi Kalasan ditemukan reruntuhan candi, yang menurut perkiraan sebagai tempat tinggal para pendeta. Candi Sari yang sekarang, yang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan, merupakan sebagian saja dari kumpulan candi yang telah hilang. Diperkirakan, dahulu terdapat pagar batu yang mengelilingi candi. Pintu masuk candi dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala yang memegang gada dan ular, seperti yang terdapat di depan Wihara Plaosan.
Candi Sari berbentuk persegi panjang, dengan ukuran 17,30 x 10 m, walaupun konon denah dasar aslinya lebih panjang dan lebih lebar, karena kaki yang asli menjorok keluar sekitar 1,60 m. Tinggi keseluruhan candi dari permukaan tanah sampai puncak stupa adalah 17 - 18 meter. Gerbang candi yang lebarnya kira-kira sepertiga lebar dinding depan dan tingginya separuh dari tinggi dinding candi, sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya bekas tempat bertemunya dinding pintu gerbang dengan dinding depan.
Candi Sari ini aslinya memang merupakan bangunan bertingkat dua atau bahkan tiga. Lantai atas dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang untuk kepentingan keagamaan, sedangkan lantai bawah dipergunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti belajar-mengajar, berdiskusi, dan sebagainya. Tembok candi ini juga dilapisi dengan vajralepa (brajalepa), lapisan pelindung yang didapati didinding-dinding Candi Kalasan. Dari luar telah terlihat bahwa tubuh candi terbagi menjadi dua tingkat, yaitu dengan adanya dinding yang menonjol melintang seperti "sabuk" mengelilingi bagian tengah tubuh candi. Pembagian tersebut diperjelas dengan adanya tiang-tiang rata disepanjang dinding tingkat bawah dan relung-relung bertiang disepanjang dinding tingkat atas.
Dinding luar tubuh dipenuhi pahatan arca dan hiasan lain yang sangat indah. Ambang pintu dan jendela masing-masing diapit oleh sepasang arca lelaki dan wanita dalam posisi berdiri memegang teratai. Jumlah arca secara keseluruhan adalah 36 buah, terdiri dari 8 arca di dinding depan (timur), 8 arca di dinding utara, 8 di dinding selatan, dan 12 di dinding barat (belakang). Ukuran arca-arca itu sama dengan ukuran tubuh manusia pada umumnya.
Atap candi berbentuk persegi datar dengan hiasan 3 buah relung di masing-masing sisi. Bingkai relung juga dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan di atas ambang relung juga dihiasi dengan Kalamakara. Puncak candi berupa deretan stupa, yang terdiri atas sebuah stupa di setiap sudut dan sebuah di pertengahan sisi atap.

7.     Candi Mendut
Candi Mendut merupakan candi yang bercorak agama Buddha dan situs candi yang berada di Kota Mungkid, Kabupaten Magelang. Candi Mendut dibangun pada masa Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Prasasti Karang Tengah 824 M, disebutkan Raja Indra telah membangun bangunan suci yang bernama Wenuwana yang artinya Hutan Bambu. Bangunan Candi Mendut  terbuat dari batu batu yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak diatas Basement yang tinggi. Diatas Basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi.
Candi mendut telah terkubur dengan tanah pada saat ditemukan pada tahun 1836. Kemudian dilakukanlah penggalian besar-besaran untuk membuka kembali candi mendut secara keseluruhan. Setelah digali semua bagian dari candi dapat ditemukan semua kecuali bagian atap candi yang tidak ditemukan. Pada sekitar tahun 1897-1904 pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu melakukan pemugaran candi yang pertama. Pada proses pemugaran itu candi dapat direkonstruksi dengan baik termasuk bagian atapnya yang hilang. Namun hasil yang didapatkan pada pemugaran pertama ini dirasakan masih belum sempurna. Lalu dimulailah lagi proses pemugaran kedua yang dilaksanakan pada tahun 1908 yang waktu itu dipimpin oleh Theodoor Van Erp. Pemugaran kedua ini pemerintah Hindia Belanda memfokuskan pada perbaikan bentuk dan penyempurnaan atap candi, serta pemasangan kembali stupa-stupa. Karena keterbatasan dana pada saat itu pemugaran kedua ini sempat berhenti beberapa saat, tapi kembali diteruskan pada tahun 1925 sampai selesai. 
Candi Mendut dibangun dengan menggunakan batu bata yang dicampur dengan batu andesit yang sangat kokoh. Candi Buddha yang satu ini memiliki ketinggian 26,4 meter, dan berdiri pada sebuah batur setinggi 2 m yang permukaannya dilengkapi dengan langka. Candi ini terdiri dari satu buah bangunan utama yang cukup besar dengan ruangan di dalamnya. Untuk dapat memasuki ruangan dalam candi, di depan pintu masuk terdapat tangga naik ke dalam candi yang menghadap ke barat. Di dalam candi terdapat 3 buah arca Budha berukuran cukup besar yang sampai saat ini masih terawat dengan baik yaitu Buddha Sakyamuni disebut pula Buddha yang sedang berkotbah, terletak di tengah tepat di depan pintu masuk dalam candi atau menghadap ke barat. Patung Buddha Sakyamuni adalah patung Buddha dengan posisi tangan seperti sedang memberi wejangan atau nasehat. Bodhisattva Avalokiteswara terletak di sebelah kanan arca Buddha Sakyamuni, dan menghadap ke selatan. Arca ini berbentuk Arca Buddha dengan posisi duduk dengan kaki kiri dilipat dan kaki kanan menjuntai ke bawah dan menginjak bunga teratai. Arca Maitreya terletak di bagian kiri arca Bodhisattva Avalokiteswara dan menghadap ke utara. Posisi arca digambarkan sedang duduk dengan sikap tangan simhakarnamudra dengan jari-jari tertutup. 
Candi Mendut juga sangat khas dari segi arsitekturnya, yaitu seperti candi lain yang memiliki beberapa saluran air atau yang sering disebut dengan Jaladwara, di beberapa sudutnya. Dan selayaknya candi yang lain pula, candi mendut juga memiliki panel-panel relief di sekelilingnya. Panel-panel tersebut berjumlah 31 buah dan semuanya berisi relief indah dengan berbagai cerita Jataka. Hampir semua bagian candi dapat kita temui relief-relief indah dengan berbagai ukuran dan cerita. Semua cerita pada relief candi menggambarkan kehidupan Sang Buddha masa lalu dan memiliki nilai-nilai pedidikan yang mendidik terutama dalam hal moral.





8.     Vihara Mendut
Vihara Mendut berada tidak jauh dari candi Mendut. Vihara ini merupakan tempat yang digunakan dalam berbagai ritual, terutama pada perayaan hari-hari besar agama Buddha misalnya perayaan Asadha dan Waisak bersama di Borobudur. Vihara Mendut ini berdiri di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia.
             Vihara yang berada dekat candi Mendut ini dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki beberapa meter dalam waktu beberapa menit saja. Beberapa bangunan yang dapat dijumpai di lingkungan vihara Mendut diantaranya Dharmasala, kuti, dan ruangan lainnya. Vihara Mendut terdapat juga ruang bawah tanah dan beberapa bangunan lainnya, serta seluruh halaman Vihara Mendut menggambarkan kisah-kisah kehidupan Sang Buddha selama menjadi Petapa hingga Parinibbana dan kisah jataka lainnya. Dihalaman ruangan bawah tanah terdapat pohon Sala yang harumnya semerbak keseluruh penjuru ketika malam hari. Vihara ini juga merupakan salah satu tempat pelaksanaan dan penyelenggaraan Pabbajja samanera dan samaneri.


9.     Candi Pawon
Candi Pawon berada ditengah-tengah antara Candi Mendut dan Candi Prambanan dengan jarak 1750M dari Candi Borobudur kearah timur, dan 1150M dari Candi Mendut kearah barat. Candi yang didirikan oleh raja Smaratungga (putera raja Indriya) pada tahun 826, berdasarkan prasasti tahun 824 candi Pawon merupakan pintu gerbang candi Borobudur, di mana orang membersihkan badan dan pikirannya dari kekotoran-kekotoran (batin) sebelum menginjak tempat yang dianggap suci itu. Candi Pawon berada di desa Vajranalan. Jika ditelaah, nama desa tersebut berasal dari kata 'Vajra' yang berarti 'senjata ampuh dewa Indra' sedangkan 'Nala' berarti 'api kerajaan'. Dari hal demikian dapat diperkirakan bahwa dahulu di candi Pawon terdapat patung dewa Indra.
Candi ini terletak di tengah pemukiman penduduk, dengan kondisi yang sederhana namun tampak bersih. Lingkungan candi memiliki pelataran yang hijau sekitar beberapa meter dan di kelilingi pagar sebagai pembatas dan pelindung. Dibilik candi sudah tidak ditemukan arca dan dinding Candi dihias dengan relif pohon hayati atau Kalpataru yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari atau makhluk setengah manusia setengah burung atau berbadan burung dan berkepala manusia.

10.  Candi Borobudur
 Candi Borobur merupakan candi yang bercorak Buddha yang terletak di Magelang. Candi Borobudur didirikan pada wangsa Pemerintahan Syailendra.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relif dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Candi ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat Dharmayatra, untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para pengunjung masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan Pradaksina berjalan mengelilingi candi suci searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Karmadhatu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini pengunjung berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tidak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ritual Buddhis, tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan, dan Borobudur merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia
Berdasarkan Prasasti Karang Tengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut dengan Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Syailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Boddhisatva”, adalah nama asli Borobudur.
Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmavibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksasa.
Pada tahun 1907-1911 Theodore van Erp melakukan restorasi terhadap candi Borobudur. Selanjutnya, pemerintah Indonesia pada tahun 1973-1983 dibantu oleh UNESCO melakukan restorasi besar-besaran terhadap candi Borobudur dengan harapan candi Borobudur dapat bertahan lebih dari seribu tahun.
Sejak tahun 1991 candi Borobudur telah tercatat sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage). Pengakuan adalah Internasional tertinggi terhadap suatu situs peninggalan dunia. Ini dikarenakan Borobudur memenuhi tiga kriteria, yaitu Mewakili sebuah maha karya kejeniusan kreatif manusia. Memperlihatkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu rentang waktu atau dalam kawasan budaya di dunia terhadap pegembangan arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata kota, atau rancangan lansekap. Secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa-peristiwa atau tradisi yang masih hidup, dengan gagasan atau keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai-nilai universal signifikan. Candi ini berada di daerah Magelang yang lokasinya dekat dengan gunung merapi yang masih aktif.
Secara filosofi, Candi Borobudur adalah simbol kebangkitan dan perjalanan mencapai penerangan sempurna. Candi ini dibangun di atas bukit pada masa dinasti Smaratungga wangsa Syailendra pada tahun 826, berdasarkan prasasti tahun 824 oleh J.G De Casparis. Luas kawasan Candi Borobudur adalah 83 hektar, sedangkan luas dari Borobudur itu sendiri adalah 7,8 hektar. Candi Borobudur berukuran 123 X 123 meter, dengan tinggi 42 meter yang terdiri atas empat bagian yaitu Alas bawah. Lima lapis lingkaran persegi yang berlekuk sehingga berbentuk segi dua puluh, tiga lapis lingkaran bundar, satu stupa besar di tengah-tengah. Empat bagian ini menggambarkan Dasa bumi atau sepuluh kesempurnaan (parami) yang harus dimiliki oleh seorang Bodhisattva untuk menjadi Buddha.
Dari lapisan pertama sampai keempat terdapat patung-patung Dhyani Buddha dengan arah sebagai berikut Tengah dengan Witarka mudra yaitu “Wairocana Dhyani Buddha” yang berarti menguasai tiga alam (Triloka). Timur dengan Bumi Sparsa mudra yaitu “Aksobhya Dhyani Buddha” yang artinya bumi telah menjadi saksi. Utara dengan Abhaya mudra yaitu “Amoghasidhi Dhyani Buddha” yang berarti jangan takut. Barat dengan Dhyani mudra yaitu “Amitabha Dhyani Buddha” yang menunjukkan posisi meditasi. Selatan dengan Wara mudra yaitu “Ratnasambhava Dhayani Buddha” berarti memberi berkah.
Bangunan Borobudur juga memiliki gambar indah yang disebut relief. Relief yang ada pada Borobudur adalah relif  yang menceritakan tentang berbagai kitab diantaranya Karma vibhangga, Lalitavistara, Jataka, Avandana, Gandhavyuha.
Sekitar 55.000 meter kubik batu Andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok  lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua balok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding selesai.
Candi Borobudur ini dilengkapi dengan sistem yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur sangat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain yang ada adalah Lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan searah jaru jam atau yang disebut Pradaksina. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada candi. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari candi ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

11.  Makam Imogiri
Makam Imogiri merupakan komplek makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo Imogiri kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 - 1640M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3, keturunan dari  Panembahan Senopati , Raja Mataram ke-1, dan merupakan bangunan milik keraton kasultanan. Makam ini terletak di atas perbukitan  yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu. Setelah Mataram terpecah jadi 2 bagian, yaitu Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta, maka tata letak pemakaman dibagi 2, sebelah timur untuk pemakaman raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta dan sebelah barat untuk pemakaman raja-raja dari Kasunanan Surakarta. Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau yang memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya kelak setelah beliau wafat. Hingga saat ini Raja Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta yang wafat dimakamkan di sini.
            Di salah satu tangga ke makam ada sebuah nisan yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah yaitu nisan makam Tumenggung Endranata karena dianggap mengkhianati Mataram. Makam Imogiri selain sebagai tempat obyek wisata sejarah juga sebagai tempat wisata religius yaitu sebagai tempat berziarah. Pada bulan suro kalender sara makam ini diadakan upacara ‘nguras’ padasan Kong Enceh. Memasuki Makam Imogiri ada tata caranya bagi pengunjung yang ingin masuk ke Makam dengan memakai pakaian Tradisional Mataram. Pria harus memakai pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua yang bergari-garis dan memakai kain jarit, tetapi tanpa mengenakan keris. Sedangkan wanita memakai kemben tanpa memakai baju. Pengunjung saat memasuki makam tidak diperizinkan memakai perhiasan atau barang-barang berharga.
            Raja-raja Mataram yang dimakamkan di tempat itu antara lain : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II sampai dengan Paku Buwana XI. Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I sampai dengan Hamengku Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.
            Makam Imogiri terdapat peninggalan Sultan Agung yang dapat menarik perhatian pengunjung, peninggalan-peninggalan tersebut antara lain air suci dari empat tempayan, cincin kayu yang terbuatdari tongkat Sultan Agung, dan daun tujuh macam, peningalan tersebut dapat mengabulkan permintaan yang di inginkan bagi yang memiliki keyakinan.

12.  Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta merupakan Istana resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompleks Keraton ini sebagian adalah museum yang menyimpan berbagai koleksi Kesultanan, termasuk pemberian Raja-raja Eropa, replika pusaka Keraton, dan gamelan. Bangunan Keraton ini merupakan salah satu arsitektur Istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I berapa bulan saat pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi Keraton ini adalah bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram yang akan dimakamkan di makam Imogiri. Keraton Yogyakarta pada awalnya juga sebagai sebuah sumber mata air yang bernama Umbul Pacethokan yang berada ditengah-tengah hutan pohon beringin. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku uwono I berdiam Di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang berada di Kecamatan Gamping, Sleman.
KeratonYogyakarta juga memiliki berbagai warisan budaya yang berbentuk upacara, benda-benda kuno dan bersejarah, Keraton Yogyakarta juga merupakan lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Pada tahun 1995 Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Arsitek kepala Istana adalah Sultan Hamengku Buwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda yaitu Theodoor Gautier Thomas Pigeaut dan Liucen Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton dengan desain dasar landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang sebagian besar hasil pemugaran yang dilakukan oleh Sultan Hamangku Buwana VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Adapun Sultan yang memerintah Kraton Yogyakarta sekarang ini adalah Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito yang bergelar Sri Sultan HB X. Beliau ini merupakan generasi yang kesepuluh. Didalam memerintah Kraton Yogyakarta Beliau didampingin seorang permaisuri tanpa seorang selirpun yaitu Bendoro Raden Ayu Tatik Mangku Bumi yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Dalam catatan sejarah Kraton Yogyakarta Beliaulah satu satunya Sultan atau Raja yang menganut paham monogami, tidak seperti Hamengku Buwana I.
Keraton Yogyakarta terdapat banyak tempat dan setiap tempat memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu Alun-alun Utara berfungsi sebagai tempat latihan prajurit. Siti Hinggil Utara berfungsi sebagai tempat pelantikan Raja. Kemandhungan Utara berfungsi sebagai tempat bagi para prajurit untuk berkumpul. Srimanganti seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Srimanganti terdiri dari dua kata yaitu Sri yang artinya raja dan manganti yang artinya menanti. Oleh karena itu Srimanganti ini berfungsi sebagai ruang tamu pada jaman dahulu, namun fungsinya sudah berubah sekarang. Sekarang, Srimanganti digunakan sebagai tempat kesenian dimana setiap orang dapat menyaksikan wayang orang yang diadakan setiap hari Minggu, wayang kulit yang diadakan setiap hari Rabu, dan wayang golek. Kedhaton berfungsi sebagai tempat tinggal Raja beserta dengan keluarganya. Kemegangan diambil dari kata minuman teh dan berfungsi sebagai dapur kerajaan. Kemandhungan Selatan berfungsi sebagai tempat olahraga memanah. Karena lapangan ini digunakan sebagai tempat olahraga memanah, maka tempat ini juga sering digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan lomba memanah. Sasono Hinggil Selatan berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan wayang kulit. Alun-alun Selatan berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para prajurit.
Kreaton Yogyakarta juga memiliki fungsi pada jaman dahulu karaton sebagaoi tempat tinggal para raja dan bagian selatan terdapat tempat kesatria sebai tempat sekolah putra-putra sultan. Putra-putra Sultan tempat sekolahnya telah dipisah dengan sekolah rakyat karena memeng sudah aturan dari Keraton tidak diperbolehkan sekolahannya bersamaan dengan sekolah rakyat. Saat ini Keraton sebagai tempat wisata yang dikunjungi oleh Turis-turis dan para pelajar.

13.  Vihara Karangdjati
Vihara Karangjati adalah vihara yang tertua di Yogyakarta, vihara ini berdiri pada tahun 1950an hingga saat ini Vihara Karangjati masih berdiri dan tetap konsisten memberikan pelayanan Dhamma kepada umat Buddha, pelayanan sosial, pelayanan pendidikan dan pelayanan ritual.
Vihara Karangjati merupakan bangunan klasik, tak banyak berubah sejak didirikan. Bagunan tersebut awalnya tidak terbayang namun sekarang bagunan tersebut telah dijadikan tempat ibadah yang digunakan untuk beraktivitas meningkatkan spiritual umat Buddha.
Diperkirakan bagunan induk vihara dibangun pada masa Belanda, bangunan tersebut berfungsi sebagai kandang sapi perah, sapi yang menghasilkan susu. Pada masa Belanada, daerah tersebut belum perkampungan, tapi masih berupa lahan yang sangat luas, yang merupakan areal perkebunan tebu, komoditas primadona Yogyakarta pada saat itu.
Dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, lahan tersebut akhirnya dimiliki oleh Romo Among Pradjarto, seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani, yang dikenal memiliki pengetahuan yang winasis. Bhikkhu Jinaputta yang berperan penting dalam alih fungsi Kandang sapi tersebut menjadi tempat ibadah. Pada tahun 1958 Bhikkhu Jinaputa berkenan menjalankan Vassa di Yogyakarta. Beliau kemudian tinggal di Cetiya Buddha Kirti, Milik Bapak Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo), sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha yang ada di Yogyakarta waktu itu.
Umat Buddha melaksanakan diskusi antara Bapak Tjan Tjoen Gie dan Romo Among Pradjarto merupakan teman baik dalam diskusi spiritual, Bhikkhu Jinaputta di tempatkan di bekas kandang sapi kepunyaan Romo Among Pradjarto.
Bekas Kandang sapi kemudian di bersihkan, dan jadilah bekas kandang tersebut menjadi tempat vassa bagi Bhante jinaputa. Selama Bhante Jinaputa tinggal di tempat tersebut, maka dimulailah beberapa diskusi seputar agama Buddha. Karena kebanyakan yang datang adalah orang-orang memang mempunyai latar belakang theosofi, kejawen dan ajaran-ajaran kebatinan yang lain, maka tidaklah sulit untuk berdiskusi tentang ajaran tersebut.
Sejak itu dimulai dari beberapa orang mulai dikenallah Buddha Dhamma. Atas persetujuan dari pemilik rumah, Romo Among, maka kegiatan keagamaan pun mulai diadakan. Bersamaan dengan itu, delapan orang, yaitu Romo Among Pardjarto, Bpk. Drs Soeharto Djoyosoempeno, Bpk Tjan Tjoen Gie, Bpk Djoeri Soekisno, Bpk Kho Tjie Hong, Bpk Tan Hok Lay, dan Bpk Krismanto, membentuk kesepakatan untuk bersama-sama mengembangkan Buddha Dhamma. Kemampuan beliau berdelapan dalam mengabdi untuk mengembangkan Buddha Dhamma serta semangat yag tidak kenal lelah telah melahirkan banyak kemajuan. Merekalah yang kemudian di kenal dengan “Djoyo 8” (Joyo Wolu).
Aktivitas di tempat tersebut kemudian sudah benar-benar merupakan aktivitas Vihara. Sudah tidak dikenal lagi sebagai kandang sapi. Kegiatan rutin berupa Puja Bakti setiap Rabu malam, serta Purnomosidhen (setiap bulan Purnama) dilakukan. Kegiatan tersebut tentu saja membutuhkan tempat yang lebih luas. Maka dibuatlah tempat tersebut menjadi lebih pantas, dilengkapi dengan pagar dan gapura. Tahun 1962, dinyatakan secara resmi menjadi lahirnya Vihara Buddha Karangdjati, meskipun aktivitasnya sudah dimulai sebalum tahun tersebut.
Semakin banyak umat yang datang serta perlu penataan secara lebih tertib, kemudian dibetuklah sekretariat Vihara Karangdjati. Sebagai sekretaris yang pertama adalah Bpk Eko Legowo. Sekarang lebih dikenal sebagai Dr.Ir. Eko Legowo Msc. Pengajar di Universitas Brawijaya Malang, serta Ketua STAB Kertarajasa Malang. Selain kegiatan rutin berupa Puja Bakti Rabu malam dan Purnomosidhen, ditambah juga dengan puja bakti di hari-hari besar Nasional, Tahun baru Jawa (1 syuro) dan kegiatan lain.
Vihara ini pernah di daulat untuk menjadi tim pelaksana penyambutan kehadiran Bhikkhu Narada Mahathera, atau lebih dikenal dengan Bhante Narada, seorang tokoh Buddhis yang cukup dikenal di Dunia, berasal dari Sri Langka. Beliau datang ke Indonesia untuk mengajarkan agama Buddha di berbagai tempat, termasuk kemudian meletakkan batu pertama calon bangunan ‘tempat biara Buddha’ di depan Candi Mendut (Vihara Mendut saat ini). Sebelumnya tahun 1961 perwakilan dari International Buddhist Centre, Profesor Ananda Thera Bhikkhu dari Srilanka juga berkunjung ke tempat tersebut.
Dalam berbagai kesempatan umat dari Vihara Karangjati juga terlibat aktif dalam keorganisasian Buddhis secara nasional, termasuk menjadi pelaksana Musyawarah nasional umat Buddha pada tahun 1961 yang dihadiri delegasi dari berbagai kota dan propinsi di Indonesia. Tahun 1969 dibentuk juga Organisasi Wanita Buddhis bernama Perkumpulan Wanita Buddha Jogjakata, yang saat itu diketuai oleh Ibu Ratna Dewi Suprapto.
Kegiatan terus berkembang pada tahun 1974 Vihara Karangjati bahkan sanggup menerbitkan Buletin yang dikenal dengan nama Darma Caraka. Di tahun tersebut generasi yang lebh muda seperti Bapak Djoko Wintolo, Sekarang Ir Djoko Wintolo, pengajar di Fakultas Teknik UGM, sudah mulai berkiprah untuk mengantikan generasi senelumnya. Pada saat itu sering dilakukan latihan Yoga bagi yang berminat.
Tahun 1960-1970an, Vihara Karangjati juga aktif memberikan pembinaan ke daerah lain, terutama di Temanggung. Dari Vihara ini banyak dikirim dharmaduta-dharmaduta yang dipimpin oleh romo Among Pradjarto untuk mengajarkan Buddha Dhamma.
Sebelum tahun 1980an lingkungan sekitar Vihara masih pedesan, belum banyak kampung seperti sekarang. Lampu yang digunakan adalah lampu Petromaks. Jika malam, musik malam berupa hembusan angin, gemericik air, suara burung malam dan kodok di persawahan masih nyaring terdengar.
Di tahun 1980an, tokoh penting yang menjadi penggerak Vihara mulai menginjak usia tua, bahkan sudah mulai meninggal, termasuk tokoh-tokoh dalam Djoyo 8. puncaknya adalah meningglanya Romo Among Pradjarto, pemilik bangunan dan pemuka utama dari Vihara ini, pada tahun 1992.
Vihara kemudian memasuki masa sulit. Pertengahan 1990an adalah masa tersulit, ketika Vihara sudah kehilangan tokoh panutan utama. Regenerasi tidak berjalan maksimal karena anak-anak dan remaja tidak mendapat pendidikan agama Buddha secara formal di sekolah. Kegiatan Vihara hampir dapat dikatakan sekedar untuk bertahan hidup.
Pada tahun 1998 di dukung oleh bapak Supriyanto, Bapak Soetrisno dan kawan kawan Vihara mulai bangkit kembali. Kegiatan mulai diaktifkan tidak sekedar kegiatan rutin, namun juga kegiatan yang lain, bangunannya juga diperbaiki kembali. Bimbingan Dhamma dari para Bhikkhu terutama dari Vihara Mendut, mulai dilakukan. Bimbingan tersebut bisa diadadakan berupa diskusi, Dhammaclas atau seminar, tergantung kebutuhan. Bhikkhu-Bhikkhu dari luar Negeri juga banyak yang datang, seperti Bhante Dhammika Mahathera dari Australia, tokoh Bhikkhu yang cukup disegani di dunia.

Selain Puja bakti, meditasi rutin setiap Jumat juga dilakukan, Perayaan hari besar agama Buddha dilakukan lebih semarak. Perayaan yang lain, seperti tahun baru, kemerdekaan RI juga dilakukan dengan berbagai varisai kegiatan. Anak anak difasilitasi melalui sekolah minggu, remaja dan pemuda juga diwadahi dalam kegiatan kepumudaan, menambah semarak kegiatan vihara. Kepercayaan yang sempat hilang, mulai didapatkan kembali. Umat dari Vihara Karangjati aktif dalam kepanitiaan Waisak nasional Borobudur 2006, Puja Bakti Agung Asadha 2006 di Candi mendut, Tim Karuna Yogyakarta yang menangani penyaluran bantuan untuk gempa Yogya 27 mei. Bahkan Desember 2003  Vihara Karangjati merupakan markas panitia World Buddhis Sangha Concil Executife Conference, yang diadakan di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang.

No comments:

Post a Comment