TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai mahasiswa Buddhis yang mempelajari ajaran
Buddha tentu dalam setiap kegiatan memiliki dasar-dasar yang mengacu pada
ajaran Buddha. Sama halnya dengan kegiatan Dharmayatra, kegiatan positif ini
merupakan suatu bentuk penghormatan umat Buddha yang melakukan kunjungan ke
situs Buddhis, dimana situs tersebut telah menjadi saksi dari perkembangan
agama Buddha di Indonesia.
Pada umumnya
kegiatan ini didasari oleh keyakinan yang teguh terhadap ajaran Buddha. Dengan
diadakannya kegiatan ini maka keyakinan terhadap ajaran Buddha semakin kokoh.
Dengan demikian adapun hal yang mendasari umat Buddha melakukan Dharmayatra
yang mengacu oleh sabda Sang Buddha, seperti berikut:
Sang Buddha bersabda “Hormatilah relik dari mereka
yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian maka engkau akan pergi dari
dunia ini ke surga”. (Pesala, 2002:100). Dalam Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta, Maha Vagga Pali, Sang
Buddha juga menguraikan tentang pentingnya Dhamayatra dilakukan sebagai umat
yang berbakti, yaitu sebagai berikut:
Menghormati dan menghargai
tempat-tempat suci mereka dan mereka dengan taat melaksanakan puja bhakti, baik
di tempat suci yang ada di kota maupun ada di luar kota.
“Ananda, bagi mereka
yang dengan keyakinan yang kuat melakukan ziarah ketempat-tempat itu, maka
setelah mereka meniggal dunia mereka akan terlahir kembali di alam surga (saga
loka)”. (Walshe, 2009:242).
Berdasarkan penggalan kutipan sabda Sang Buddha dapat
disimpulkan bahwa dengan melakukan Dharmayatra dengan dilandasi keyakinan yang kokoh
terhadap tempat-tempat bersejarah agama Buddha maka seseorang akan memperoleh
manfaat yang luar biasa yaitu ia akan memperolah ketenangan dan kebahagiaan di
dunia ini dan apabila meninggal dunia maka ia akan terlahir di alam bahagia
pula (Surga loka).
Selain dasar-dasar teologis diatas juga terdapat dasar hukum
yang mendasari kegiatan Dharmayatra ini.
1.
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).
2.
Peraturan Pemerintahan RI Nomor 60 Tahun 1999 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3859).
3.
Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496).
4.
Peraturan Pemerintahan Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama Dan Pendidikan Keagamaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769).
5.
Peraturan Presidan No.76 tahun 2005 tentang pendirian STABN
Sriwijaya Tangerang Banten.
6.
Peraturan Menteri Agama RI No.7 Tahun 2006 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja STABN Sriwijaya Tangerang Banten.
- Keputusan
Menteri Agama RI Nomor: 146 Tahun 2012 Tentang Statuta
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten.
Adapun beberapa sejarah yang dapat dirangkum oleh penulis berdasarkan
situs yang dikunjungi, antara lain :
1.
Candi Plaosan
![]() |
Candi Plaosan berada di Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Candi Plaosan ini tidak jauh dari
Candi Sewu, kira-kira 1,5 km jarak
tempuhnya . Candi ini terbagi menjadi dua bagian
yaitu Candi Palosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Candi Plaosan merupakan candi yang
bercorak agama Buddha. Menurut para ahli Candi
Plaosan diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Kerajaan
Mataram Hindu, yaitu pada awal abad ke-9 M. Dalam Prasasti
Cri Kahulunan (842 M) menyatakan bahwa Candi Plaosan Lor dibangun oleh Ratu
Sri Kahulunan, yang didukung oleh suaminya. Menurut De
Casparis, Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani, putri Raja Samarattungga
dari Wangsa Syailendra. Sang Putri memeluk agama Buddha dan menikah dengan
Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu.
Candi Plaosan Lor merupakan candi yang lebih luas daripada Candi Plaosan
Kidul. Candi Plaosan Lor memiliki dua Arca Dharmapala yang saling berhadapan dan
terletak didepan pintu masuk utara dan selatan. Posisi kedua Arca Dharmapala
yaitu, duduk diatas kaki kanannya terlipat dan kaki kirinya ditekuk
didepan tubuh. Tangan kanannya memegang gada, sedangkan tangan kiri bertumpu pada
lutut kaki. Di halaman utara terdapat 6 buah stupa besar dan di pusat
kompleks Candi terdapat dua bangunan bertingkat yang merupakan candi utama. Kedua
bangunan di Candi utama menghadap kebarat dan masing-masing Candi dikelilingi
dengan pagar batu. Dinding batu yang memagari masing-masing candi utama
dikelilingi oleh candi perwara yang semula berjumlah 174, terdiri atas 58 candi
kecil berdenah dasar persegi dan 116 bangunan berbentuk stupa. Tujuh candi
berbaris di masing-masing sisi utara dan selatan setiap candi utama, 19 candi
berbaris sebelah timur atau belakang kedua candi utama, sedangkan 17 candi lagi
berbaris di depan kedua candi utama. Keadaan candi perwara saat ini hampir keseluruhannya hancur. Bangunan
utama yang dikelilingi pagar batu di sebelah barat terdapat sebuah gerbang
berupa gapura Paduraksa, bagian atap dihiasi dengan mahkota kecil, puncak atap
gapura berbentuk persegi dengan mahkota kecil diatasnya. Masing-masing bangunan
candi utama berdiri di atas kaki setinggi sekitar 60 cm tanpa selasar yang
mengelilingi tubuhnya. Tangga menuju pintu dilengkapi dengan pipi tangga yang
memiliki hiasan kepala naga di pangkalnya. Bingkai pintu dihiasi pahatan bermotif
bunga dan sulur-suluran. Di atas ambang pintu terdapat hiasan kepala Kala tanpa
rahang bawah. Sepanjang dinding luar digambarkan relif yang menceritakan
seorang perempuan dan laki-laki.
Candi Plaosan Kidul terletak di selatan Candi Plaosan Lor, terpisah oleh
jalan raya. Bila di kompleks Palosan Lor kedua candi utamanya masih berdiri
dengan megah, di kompleks Candi Plaosan Kidul candi utamanya sudah tinggal
reruntuhan. Yang masih berdiri hanyalah beberapa candi perwara. Candi Kidul
runtuh karena peristiwa gempa bumi dan letusan gunung berapi.
2.
Candi Prambanan
![]() |
Candi Prambanan
merupakan candi yang bercorak agama Hindu dan
merupakan candi yang terbesar di Indonesia yang didirikan pada abad ke-9 M. Candi
Prambanan dipersembahkan kepada Trimurti, tiga utama Dewa Hindu yaitu Brahma
sebagai dewa Pencipta, Wishnu sebagai Dewa Pemelihara, dan Siwa sebagai Dewa
Pemusnah. Berdasarkan Prasasti Siwagrha, nama asli kompleks Candi Prambanan
adalah Siwagrha dalam bahasa Sansekerta yang bermakna rumah Siwa, dan di
Garbagriha (candi utama) candi ini merupakan
tempat
bersemayamnya arca Siwa Mahadewa yang memiliki tinggi 3 m yang
menunjukan bahwa Dewa Siwa yang diutamakan. Candi Prambanan terletak di sebelah
timur dari kota Jogyakarta yang berjarak kurang lebih 17 km, kompleks Candi
Prambanan menghadap kearah timur, dengan bentuk yang menyerupai gunungan pada
wayang kulit setinggi 47 m.
Pembangunan Candi Hindu ini dimulai oleh Rakai Pikatan
sebagai tandingan Candi Buddha Borobudur dan Candi Sewu yang tidak jauh dari
Candi Prambanan. Pembangunan Candi Hindu ini menandakan kembalinya
kekuasaan keluarga Sanjaya. Hal ini menandai Wangsa kembar yang berbeda
keyakinan dan saling bersaing, Wangsa Sanjaya menganut agama Hindu dan Wangsa Syailendra menganut
agama Buddha. Pembangunan Candi ini menandai bahwa Hindu aliran Siwa telah
mendapatkan dukungan dari keluarga kerajaan, sebelumnya Wangsa Syailendra lebih
cenderung mendukung Buddha Mahayana. Mengenai hal ini Kerajaan Medang Mataram
beralih dukungan keagamaan dari Buddha Mahayana menjadi pemuja Dewa Siwa.
Candi Prambanan dibangun pada masa Rakai Pikatan
sekitar tahun 850 M, kemudian dikembangkan
oleh Raja Lokapala dan Raja Balitung Maha Sambu pada masa kerajaan Medang Mataram.
Candi
Prambanan yang megah ini juga berfungsi sebagai
Candi agung kerajaan Mataram, untuk tempat pergelaran upacara penting acara
kerajaan. Pada masa kejayaan Pandita Brahmana dan murid-muridnya berkumpul
dipelantaran liar candi untuk belajar Kitab Veda dan melaksanakan ritul upacara
Hindu. Sementara kerajaan Mataram terletak di dekeat Prambanan di Dataran Kewu.
Sekitar tahun 930, kerajaan pindah ke Jawa Timur oleh
Empu Sindok yang mendirikan Wangsa Isyana, perpindahan ini dikarenakan letusan
Gunung Merapi, selain itu juga karena perebutan dan peperangan kekuaaan. Pada abad ke-16
bangunan candi runtuh akibat gempa bumi di Jogyakarta. Candi Prambanan setelah
runtuh dan tidak terawat warga sekitar candi tidak mengetahui latar belakang
dan raja serta kerajaan yang membangun candi. Sehingga rakyat setempat
menciptakan dongeng tentang asal mula
keberadaan candi Prambanan, diwarnai dengan cerita fantastis mengenai
raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh jin dan dedemit hanya membutuhkan
waktu satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca. Imajinasi
rakyat tersebuat dapat menceritakan
legenda Candi Prambanan dengan kisah Roro Jonggrang.
Pemugaran Candi Prambanan dimulai pada tahun 1918, tetapi yang sebenarnya
dimulai pada tahun 1930.an. Pada tahun 1902-1903 Theodoor van Erp memelihara bagian
yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926 dilanjutkan oleh Purbakala di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai aturan
arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan
pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha
pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya
pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga
pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra
Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993.
3.
Candi Sewu
![]() |
Candi Sewu merupakan candi bercorak agama Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya 800M di sebelah
utara candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks Candi Buddha ke-2 setelah
Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu lebih tua dari Candi Prambanan.
Jumlah Candi Sewu aslinya terdapat 249 Candi, namun oleh masyarakat setempat dinamakan Candi Sewu dalam bahasa Jawa yang
berdasarkan kisah Roro Jonggrang. Candi ini terdiri dari sebuah candi yang agak
besar di kelilingi oleh banyak candi-candi kecil. Dalam candi besar terdapat
ruangan yang dahulu berisi rupang, begitu pula di candi-candi kecil yang juga
memiliki ruang. Kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 dan ditemukan
pada tahun 1960, nama asli bangunan ini adalah “Manjus’ri grha” (Rumah
Manjusri). Manjusri adalah
salah satu Boddhisatwa dalam
ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 M pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 – 784) adalah raja
yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno. Kompleks
candi ini mungkin dipugar, diperluas, dan rampung pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra.
Adanya candi Sewu yang bercorak agama Buddha
berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak agama Hindu menunjukkan bahwa
sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan
adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini,
candi Sewu merupakan Candi Kerajaan Buddha, sekaligus pusat kegiatan agama Buddha
yang penting di masa lalu. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs
purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini
menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor
keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa kuno.
Saat memasuki candi Sewu terlebih
dahulu melewati kawasan candi Prambanan, candi Bubrah, dan candi Lumbung.
Perjalanan yang ditempuh sekitar satu kilometer dari candi Prambanan. Candi
Sewu pada saat ini sedang direnovasi karena banyak bangunan candi yang rusak
akibat gempa pada bulan mei 2006 di Jogyakarta, Jawa tengah bagian selatan. Kerusakan
struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling
parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar
sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi
dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi
utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian
setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan
tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.
4.
Candi Ratu Boko
![]() |
Candi Ratu Boko merupakan situs purbakala
yang merupakan kompleks sisa-sisa bangunan yang berada kurang lebih 3 km
sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan. Candi Ratu Boko memiliki luas
sekitar 25 hektar. Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan pada abad
ke-8 pada masa Wangsa Syailendra oleh Rakai
Panangkaran dari kerajaan Medang, Mataram Hindu. Pola perletakan sisa bangunan
merupakan bekas kraton atau Istana Raja.
Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat, Ratu Boko yang berarti dalam bahasa
jawa yaitu Raja Bangau adalah Raja dari Loro Jonggrang. Candi Ratu Boko terletak di kecamatan
Prambanan, kabupaten Sleman, Yogyakarta dan terletak pada ketinggian 200 m
diatas permukaan laut.
Prasasti Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M telah ditemukan tulisan dalam
Situs Ratu Boko. Dalam Prasasti tersebut tertulis seorang tokoh yaitu Rakai
Panangkara pada tahun 746-784 M serta menyebut kawasan vihara diatas bukit yang
dinamakan Abhayagiri Vihara yang artinya vihara yang brada di atsa bukit bebas
dari mara bahaya. Rakai Panangkaran telah mengundurkan diri sebagai Raja karena
ingin mendapatkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah
keagamaan. Salah satu cara untuk mencapai ketenangan dan memusatkan pikiran
dengan cara mendirikan Vihara Abhayagiri pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran
menganut agama Buddha sehingga bangunan Abhayagiri Vihara berlatar belakang
agama Buddha sebagai bukti yaitu Arca Dyana Buddha. Tetapi ditemukan unsur-unsur
agama Hindu di Situs Ratu Boko seperti Arca Durga, Ganesha, dan Yoni.
Kompleks Situs ini kemudian diubah menjadi Kraton dengan dilengkapi
benteng pertahanan bagi raja bawahan yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni.
Berdasarkan Prasasti Siwagraha tempat ini sebagai kubu pertahanan yang terdiri
beratus-ratus
batu oleh Balaputra. Berbeda dengan
peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk bangunan
keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks profan, lengkap dengan gerbang
masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.
5.
Candi Kalasan
![]() |
Candi Kalasan atau disebut sebagai Candi Kalibening
terletak di Desa Kalibening, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Candi Kalasan pada
awalnya telah ditemukan dengan adanya nama Prasasti Kalasan. Prasasti ini
ditulis dengan menggunakan huruf Pranagari, pada tahun 778 M. Prasasti ini
merupakan sebuah bangunan sebagai tempat suci untuk menyembah Dewa Tara dan
terdapat sebuah Vihara untuk para Pendeta Buddha. Pembangunan Candi berlangsung
pada masa pemerintahan Maharaja Tejapurnapana Panangkaran atau Rakai
Panangkaran yang berasal dari dinasti Syailendra.
Pada
tahun 750-850 M terdapat dua dinasti besar yang menguasai Jawa Tengah, bagian
utara dikuasi oleh Dinasti Sanjaya yang memeluk agama Hindu sedangkan bagian
selatan dikuasai oleh Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha. Kekuatan
masing-masing dinasti telah membuat candi yang ada didua wilayah masing-masing
memiliki corak yang berbeda. Namun kedua Dinasti tersebut disatukan dengan
pernikahan antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dan Pramordawardhani, anak
dari Raja Maharaja Samarattungga dari Dinasti Syailendra pada tahun 838-851 M.
Satu
hal yang cukup unik yang bisa ditemukan dari Sejarah Candi Kalasan ini
yaitu Vajralepa atau Bajralepa, yaitu semacam
lapisan plester untuk melapisi bagian luar candi terutama pada reliefnya. Bajralepa ini
sangat jarang ditemui pada bangunan candi lainnya di Indonesia. Namun bajralepa
ini bisa ditemui di sebuah candi yang berada tak jauh dari candi Kalasan, yaitu
Candi Sari.
Kedua candi ini
memiliki kemiripan arsitektur, selain bajralepa hal menarik lainnya adalah
candi ini memiliki relief yang dipahat dengan sangat halus sekali. Reliefnya
berupa sulur-sulur, ceruk, relung, stupa, dan juga pahatan arca-arca manusia
kerdil yang disebut dengan Gana.
Walaupun banyak
sekali potongan batu yang telah melalui proses pemugaran dan penataan kembali,
ternyata banyak sekali bagian candi yang telah hilang.
6. Candi Sari
![]() |
Candi Sari berada di Desa Bendan,
Kelurahan Tirtamartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Terletak sekitar 10 Km dari pusat Yogyakarta, hanya sekitar 3 km
dari Candi Kalasan. Menurut
perkiraan candi ini dibangun pada abad ke-8 M, yaitu pada masa pemerintahan
Rakai Panangkaran, bersamaan dengan masa pembangunan Candi Kalasan. Kedua candi
tersebut memang memiliki banyak kemiripan, baik dari segi arsitektur maupun
reliefnya. Keterkaitan kedua candi ini diterangkan dalam Prasasti Kalasan (700
Saka/778 M). Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat
keagamaan Wangsa Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana,
yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, mendirikan bangunan suci untuk memuja
Dewi Tara dan vihara untuk para Bhikkhu. Untuk pemujaan Dewi Tara dibangun Candi Kalasan, sedangkan
untuk tempat tinggal para Bhikkhu
dibangun Candi Sari yang fungsinya sebagai
tempat tinggal terlihat dari bentuk bangunan bahwa candi ini merupakan bangunan
agama Buddha terlihat dari stupa yang terdapat di puncaknya.
Candi Sari
ditemukan kembali pada awal abad ke-20 dalam keadaan rusak berat. Pemugaran
pertama dilaksanakan antara tahun 1929-1930. Mengenai pemugaran tersebut,
Kempers berpendapat bahwa hasilnya kurang memuaskan, dalam arti pemugaran
tersebut belum berhasil mengembalikan keutuhan bangunan aslinya. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya bagian candi yang hilang. Selain itu terdapat
bagian-bagian bangunan yang sudah rusak termakan usia, terutama yang bukan
terbuat dari batu.
Pada abad ke 19,
sekitar 130 m dari Candi Kalasan ditemukan reruntuhan candi, yang menurut
perkiraan sebagai tempat tinggal para pendeta. Candi Sari yang sekarang, yang
letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan, merupakan sebagian saja dari kumpulan
candi yang telah hilang. Diperkirakan, dahulu terdapat pagar batu yang
mengelilingi candi. Pintu masuk candi dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala yang
memegang gada dan ular, seperti yang terdapat di depan Wihara Plaosan.
Candi Sari berbentuk
persegi panjang, dengan ukuran 17,30 x 10 m, walaupun konon denah dasar aslinya
lebih panjang dan lebih lebar, karena kaki yang asli menjorok keluar sekitar
1,60 m. Tinggi keseluruhan candi dari permukaan tanah sampai puncak stupa
adalah 17 - 18 meter. Gerbang candi yang lebarnya kira-kira sepertiga
lebar dinding depan dan tingginya separuh dari tinggi dinding candi, sudah tak
ada lagi. Yang tersisa hanya bekas tempat bertemunya dinding pintu gerbang
dengan dinding depan.
Candi Sari ini
aslinya memang merupakan bangunan bertingkat dua atau bahkan tiga. Lantai atas
dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang untuk kepentingan keagamaan,
sedangkan lantai bawah dipergunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti
belajar-mengajar, berdiskusi, dan sebagainya. Tembok candi ini juga dilapisi
dengan vajralepa (brajalepa), lapisan pelindung yang didapati didinding-dinding
Candi Kalasan. Dari luar telah terlihat bahwa tubuh candi terbagi menjadi dua
tingkat, yaitu dengan adanya dinding yang menonjol melintang seperti
"sabuk" mengelilingi bagian tengah tubuh candi. Pembagian tersebut
diperjelas dengan adanya tiang-tiang rata disepanjang dinding tingkat bawah dan
relung-relung bertiang disepanjang dinding tingkat atas.
Dinding luar
tubuh dipenuhi pahatan arca dan hiasan lain yang sangat indah. Ambang pintu dan
jendela masing-masing diapit oleh sepasang arca lelaki dan wanita dalam posisi
berdiri memegang teratai. Jumlah arca secara keseluruhan adalah 36 buah,
terdiri dari 8 arca di dinding depan (timur), 8 arca di dinding utara, 8 di
dinding selatan, dan 12 di dinding barat (belakang). Ukuran arca-arca itu sama
dengan ukuran tubuh manusia pada umumnya.
Atap candi
berbentuk persegi datar dengan hiasan 3 buah relung di masing-masing sisi.
Bingkai relung juga dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan di atas ambang
relung juga dihiasi dengan Kalamakara. Puncak candi berupa deretan stupa, yang
terdiri atas sebuah stupa di setiap sudut dan sebuah di pertengahan sisi atap.
7.
Candi Mendut
![]() |
Candi Mendut merupakan candi yang
bercorak agama Buddha dan situs candi yang
berada di Kota Mungkid, Kabupaten Magelang. Candi Mendut dibangun pada masa Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Prasasti Karang Tengah 824 M, disebutkan Raja Indra telah membangun bangunan
suci yang bernama Wenuwana yang artinya Hutan Bambu. Bangunan Candi Mendut terbuat dari batu batu yang ditutupi dengan
batu alam. Bangunan ini terletak diatas Basement yang tinggi. Diatas Basement
terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi.
Candi mendut telah terkubur dengan tanah pada saat
ditemukan pada tahun 1836. Kemudian dilakukanlah penggalian besar-besaran untuk
membuka kembali candi mendut secara keseluruhan. Setelah digali semua bagian
dari candi dapat ditemukan semua kecuali bagian atap candi yang tidak
ditemukan. Pada sekitar tahun 1897-1904 pemerintah Hindia Belanda pada
waktu itu melakukan pemugaran candi yang pertama. Pada proses pemugaran itu
candi dapat direkonstruksi dengan baik termasuk bagian atapnya yang hilang.
Namun hasil yang didapatkan pada pemugaran pertama ini dirasakan masih belum
sempurna. Lalu dimulailah lagi proses pemugaran kedua yang dilaksanakan
pada tahun 1908 yang waktu itu dipimpin oleh Theodoor Van Erp. Pemugaran kedua
ini pemerintah Hindia Belanda memfokuskan pada perbaikan bentuk dan
penyempurnaan atap candi, serta pemasangan kembali stupa-stupa. Karena
keterbatasan dana pada saat itu pemugaran kedua ini sempat berhenti beberapa
saat, tapi kembali diteruskan pada tahun 1925 sampai selesai.
Candi Mendut dibangun dengan menggunakan batu bata
yang dicampur dengan batu andesit yang sangat kokoh. Candi Buddha yang satu ini
memiliki ketinggian 26,4 meter, dan berdiri pada sebuah batur setinggi 2 m yang
permukaannya dilengkapi dengan langka. Candi ini terdiri dari satu buah
bangunan utama yang cukup besar dengan ruangan di dalamnya. Untuk dapat
memasuki ruangan dalam candi, di depan pintu masuk terdapat tangga naik ke
dalam candi yang menghadap ke barat. Di dalam candi terdapat 3 buah arca Budha
berukuran cukup besar yang sampai saat ini masih terawat dengan baik yaitu Buddha Sakyamuni disebut pula Buddha
yang sedang berkotbah, terletak di tengah tepat di depan pintu masuk dalam
candi atau menghadap ke barat. Patung Buddha Sakyamuni adalah patung Buddha
dengan posisi tangan seperti sedang memberi wejangan atau nasehat. Bodhisattva Avalokiteswara terletak di
sebelah kanan arca Buddha Sakyamuni, dan menghadap ke
selatan. Arca ini berbentuk Arca Buddha dengan posisi duduk dengan kaki kiri
dilipat dan kaki kanan menjuntai ke bawah dan menginjak bunga
teratai. Arca Maitreya terletak di bagian kiri arca Bodhisattva
Avalokiteswara dan menghadap ke utara. Posisi arca digambarkan sedang duduk
dengan sikap tangan simhakarnamudra dengan jari-jari
tertutup.
Candi Mendut juga sangat khas dari segi arsitekturnya,
yaitu seperti candi lain yang memiliki beberapa saluran air atau yang sering
disebut dengan Jaladwara, di beberapa sudutnya. Dan selayaknya candi yang lain pula,
candi mendut juga memiliki panel-panel relief di sekelilingnya. Panel-panel
tersebut berjumlah 31 buah dan semuanya berisi relief indah dengan berbagai
cerita Jataka. Hampir semua bagian candi dapat kita temui
relief-relief indah dengan berbagai ukuran dan cerita. Semua cerita pada relief
candi menggambarkan kehidupan Sang Buddha masa lalu dan memiliki
nilai-nilai pedidikan yang mendidik terutama dalam hal moral.
8.
Vihara Mendut
![]() |
Vihara Mendut berada tidak jauh dari candi Mendut. Vihara ini merupakan
tempat yang digunakan dalam berbagai ritual, terutama pada perayaan hari-hari
besar agama Buddha misalnya perayaan Asadha dan Waisak bersama di Borobudur.
Vihara Mendut ini berdiri di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia.
Vihara yang berada dekat candi Mendut ini
dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki beberapa meter dalam waktu beberapa
menit saja. Beberapa bangunan yang dapat dijumpai di lingkungan vihara Mendut
diantaranya Dharmasala, kuti, dan ruangan lainnya. Vihara Mendut terdapat juga ruang bawah tanah dan
beberapa bangunan lainnya, serta seluruh halaman Vihara Mendut menggambarkan
kisah-kisah kehidupan Sang Buddha selama menjadi Petapa hingga Parinibbana dan
kisah jataka lainnya. Dihalaman ruangan bawah tanah terdapat pohon Sala yang
harumnya semerbak keseluruh penjuru ketika malam hari. Vihara ini juga
merupakan salah satu tempat pelaksanaan dan penyelenggaraan Pabbajja samanera
dan samaneri.
9.
Candi Pawon
![]() |
Candi Pawon berada
ditengah-tengah antara
Candi Mendut dan Candi Prambanan dengan jarak 1750M dari Candi Borobudur kearah
timur, dan 1150M dari Candi Mendut kearah barat. Candi yang didirikan oleh raja
Smaratungga (putera raja Indriya) pada tahun 826, berdasarkan prasasti tahun 824
candi Pawon merupakan pintu gerbang candi Borobudur, di mana orang membersihkan
badan dan pikirannya dari kekotoran-kekotoran (batin) sebelum menginjak tempat
yang dianggap suci itu. Candi Pawon berada di desa Vajranalan. Jika ditelaah, nama desa tersebut berasal dari kata 'Vajra' yang berarti
'senjata ampuh dewa Indra' sedangkan 'Nala' berarti 'api kerajaan'. Dari hal
demikian dapat diperkirakan bahwa dahulu di candi Pawon terdapat patung dewa
Indra.
Candi ini terletak di tengah pemukiman penduduk,
dengan kondisi yang sederhana namun tampak bersih. Lingkungan candi memiliki
pelataran yang hijau sekitar beberapa meter dan di kelilingi pagar sebagai
pembatas dan pelindung. Dibilik candi sudah tidak ditemukan arca dan dinding
Candi dihias dengan relif pohon hayati atau Kalpataru yang diapit pundi-pundi
dan kinara-kinari atau makhluk setengah manusia setengah burung atau berbadan
burung dan berkepala manusia.
10. Candi Borobudur
![]() |
Candi Borobur merupakan candi yang bercorak Buddha
yang terletak di Magelang. Candi Borobudur didirikan pada wangsa Pemerintahan
Syailendra.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk
bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relif dan aslinya terdapat
504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah
sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72
stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam
posisi teratai sempurna dengan mudra Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Candi ini merupakan model
alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat Dharmayatra, untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para pengunjung masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan Pradaksina
berjalan mengelilingi candi suci searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga
tingkatan itu adalah Karmadhatu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini pengunjung
berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tidak
kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar.
Borobudur kini masih
digunakan sebagai tempat ritual Buddhis, tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur
untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata,
Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak
dikunjungi wisatawan, dan Borobudur merupakan salah satu dari tujuh keajaiban
dunia
Berdasarkan Prasasti
Karang Tengah dan Tri Tepusan, Casparis
memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama
Samaratungga, yang melakukan pembangunan
sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru
dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah
abad. Dalam prasasti Karangtengah disebutkan mengenai penganugerahan
tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan
(Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut dengan
Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk
memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Syailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa
Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
Boddhisatva”, adalah nama asli Borobudur.
Borobudur juga ditemukan
beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar
seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat
beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini
disimpan di Museum Karmavibhangga Borobudur, yang
terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra
Raksasa.
Pada tahun 1907-1911 Theodore van Erp melakukan restorasi
terhadap candi Borobudur. Selanjutnya, pemerintah Indonesia pada tahun
1973-1983 dibantu oleh UNESCO melakukan restorasi besar-besaran terhadap candi
Borobudur dengan harapan candi Borobudur dapat bertahan lebih dari seribu
tahun.
Sejak tahun 1991 candi Borobudur telah tercatat
sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (World
Cultural Heritage). Pengakuan adalah Internasional tertinggi
terhadap suatu situs peninggalan dunia. Ini dikarenakan Borobudur memenuhi tiga
kriteria, yaitu Mewakili sebuah maha karya kejeniusan kreatif manusia.
Memperlihatkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu
rentang waktu atau dalam kawasan budaya di dunia terhadap pegembangan
arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata kota, atau rancangan lansekap.
Secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa-peristiwa atau tradisi yang
masih hidup, dengan gagasan atau keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang
memiliki nilai-nilai universal signifikan. Candi
ini berada di daerah Magelang yang lokasinya dekat dengan gunung merapi yang
masih aktif.
Secara filosofi, Candi Borobudur
adalah simbol kebangkitan dan perjalanan mencapai penerangan
sempurna. Candi ini dibangun di atas bukit pada masa dinasti Smaratungga wangsa
Syailendra pada tahun 826, berdasarkan prasasti tahun 824 oleh J.G De Casparis.
Luas kawasan Candi Borobudur adalah 83 hektar, sedangkan luas dari Borobudur
itu sendiri adalah 7,8 hektar. Candi Borobudur berukuran 123 X 123 meter,
dengan tinggi 42 meter yang terdiri atas empat bagian yaitu Alas bawah. Lima
lapis lingkaran persegi yang berlekuk sehingga berbentuk segi dua puluh, tiga lapis lingkaran bundar, satu
stupa besar di tengah-tengah. Empat bagian ini menggambarkan Dasa bumi atau
sepuluh kesempurnaan (parami) yang harus dimiliki oleh seorang Bodhisattva untuk menjadi Buddha.
Dari lapisan pertama sampai
keempat terdapat patung-patung Dhyani Buddha dengan arah sebagai berikut Tengah
dengan Witarka mudra yaitu “Wairocana Dhyani Buddha” yang berarti
menguasai tiga alam (Triloka). Timur
dengan Bumi Sparsa mudra yaitu “Aksobhya Dhyani Buddha” yang artinya
bumi telah menjadi saksi. Utara dengan Abhaya
mudra yaitu “Amoghasidhi Dhyani
Buddha” yang berarti jangan takut. Barat dengan Dhyani mudra yaitu “Amitabha Dhyani Buddha” yang menunjukkan
posisi meditasi. Selatan dengan Wara
mudra yaitu “Ratnasambhava Dhayani
Buddha” berarti memberi berkah.
Bangunan Borobudur juga memiliki
gambar indah yang disebut relief. Relief yang ada pada Borobudur adalah
relif yang menceritakan tentang berbagai
kitab diantaranya Karma vibhangga,
Lalitavistara, Jataka, Avandana, Gandhavyuha.
Sekitar 55.000 meter kubik
batu Andesit diangkut dari tambang batu dan tempat
penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong
dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan
semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan
sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti
balok-balok lego yang bisa menempel tanpa
perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat
satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua balok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding selesai.
Candi Borobudur ini
dilengkapi dengan sistem yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan
yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang
disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala
raksasa kala atau makara.
Borobudur sangat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya
serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang
pemujaan seperti candi-candi lain yang ada adalah Lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi
dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun
Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong
inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi
candi ke arah kanan searah jaru jam atau yang disebut Pradaksina. Borobudur mungkin
pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada candi. Terkadang
stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya
yang rumit dari candi ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan
tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
11. Makam Imogiri
![]() |
Makam Imogiri merupakan
komplek makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo
Imogiri kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 - 1640M oleh
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3, keturunan
dari Panembahan Senopati , Raja Mataram ke-1, dan merupakan bangunan
milik keraton kasultanan. Makam ini terletak di atas perbukitan yang juga
masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu. Setelah Mataram terpecah jadi 2
bagian, yaitu Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta, maka tata
letak pemakaman dibagi 2, sebelah timur untuk pemakaman raja-raja dari
Kasultanan Yogyakarta dan sebelah barat untuk pemakaman raja-raja dari
Kasunanan Surakarta. Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu
Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau yang memutuskan bahwa Imogiri menjadi
makamnya kelak setelah beliau wafat. Hingga saat ini Raja Kasultanan Yogyakarta
dan Surakarta yang wafat dimakamkan di sini.
Di
salah satu tangga ke makam ada sebuah nisan yang sengaja dijadikan tangga agar
selalu diinjak oleh para peziarah yaitu nisan makam Tumenggung Endranata karena
dianggap mengkhianati Mataram. Makam Imogiri selain sebagai tempat obyek wisata
sejarah juga sebagai tempat wisata religius yaitu sebagai tempat berziarah. Pada bulan
suro kalender sara makam ini diadakan upacara
‘nguras’ padasan Kong Enceh. Memasuki Makam Imogiri ada tata caranya bagi
pengunjung yang ingin masuk ke Makam dengan memakai pakaian Tradisional
Mataram. Pria harus memakai pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau
biru tua yang bergari-garis dan memakai kain jarit, tetapi tanpa mengenakan
keris. Sedangkan wanita memakai kemben tanpa memakai baju. Pengunjung saat
memasuki makam tidak diperizinkan memakai perhiasan atau barang-barang
berharga.
Raja-raja
Mataram yang dimakamkan di tempat itu antara lain : Sultan Agung
Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana
I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II sampai dengan Paku Buwana XI. Sedangkan dari
Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I sampai dengan Hamengku
Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.
Makam Imogiri
terdapat peninggalan Sultan Agung yang dapat menarik perhatian pengunjung,
peninggalan-peninggalan tersebut antara lain air suci dari empat tempayan,
cincin kayu yang terbuatdari tongkat Sultan Agung, dan daun tujuh macam,
peningalan tersebut dapat mengabulkan permintaan yang di inginkan bagi yang
memiliki keyakinan.
12. Keraton Yogyakarta
![]() |
Keraton Yogyakarta merupakan Istana resmi Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat saat ini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kompleks Keraton ini sebagian adalah museum yang menyimpan berbagai koleksi
Kesultanan, termasuk pemberian Raja-raja Eropa, replika pusaka Keraton, dan
gamelan. Bangunan Keraton ini merupakan salah satu arsitektur Istana Jawa yang
terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang
luas.
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I berapa bulan saat pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi
Keraton ini adalah bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram yang
akan dimakamkan di makam Imogiri. Keraton Yogyakarta pada awalnya juga sebagai
sebuah sumber mata air yang bernama Umbul Pacethokan yang berada
ditengah-tengah hutan pohon beringin. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta
Sultan Hamengku uwono I berdiam Di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
berada di Kecamatan Gamping, Sleman.
KeratonYogyakarta juga memiliki berbagai warisan
budaya yang berbentuk upacara, benda-benda kuno dan bersejarah, Keraton
Yogyakarta juga merupakan lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Pada
tahun 1995 Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu
Situs Warisan Dunia UNESCO.
Arsitek kepala Istana adalah Sultan Hamengku Buwana
I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur
dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda yaitu Theodoor Gautier Thomas Pigeaut dan Liucen Adam yang
menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara
Pakubuwono II Surakarta. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang
dari keraton dengan desain dasar landscape kota tua
Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan oleh
para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang sebagian
besar hasil pemugaran yang dilakukan oleh Sultan Hamangku Buwana VIII (bertahta tahun
1921-1939).
Adapun Sultan yang memerintah Kraton Yogyakarta sekarang
ini adalah Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito yang bergelar Sri Sultan HB X.
Beliau ini merupakan generasi yang kesepuluh. Didalam memerintah Kraton
Yogyakarta Beliau didampingin seorang permaisuri tanpa seorang selirpun yaitu
Bendoro Raden Ayu Tatik Mangku Bumi yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Dalam catatan sejarah Kraton Yogyakarta Beliaulah satu satunya Sultan atau Raja
yang menganut paham monogami, tidak seperti Hamengku Buwana I.
Keraton Yogyakarta terdapat banyak tempat dan setiap tempat
memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu Alun-alun Utara berfungsi sebagai
tempat latihan prajurit. Siti Hinggil Utara berfungsi sebagai tempat pelantikan
Raja. Kemandhungan Utara berfungsi sebagai tempat bagi para prajurit untuk
berkumpul. Srimanganti seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Srimanganti
terdiri dari dua kata yaitu Sri yang artinya raja dan manganti yang artinya
menanti. Oleh karena itu Srimanganti ini berfungsi sebagai ruang tamu pada
jaman dahulu, namun fungsinya sudah berubah sekarang. Sekarang, Srimanganti
digunakan sebagai tempat kesenian dimana setiap orang dapat menyaksikan wayang
orang yang diadakan setiap hari Minggu, wayang kulit yang diadakan setiap hari
Rabu, dan wayang golek. Kedhaton berfungsi sebagai tempat tinggal Raja beserta
dengan keluarganya. Kemegangan diambil dari kata minuman teh dan berfungsi
sebagai dapur kerajaan. Kemandhungan Selatan berfungsi sebagai tempat olahraga
memanah. Karena lapangan ini digunakan sebagai tempat olahraga memanah, maka
tempat ini juga sering digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan lomba
memanah. Sasono Hinggil Selatan berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan
wayang kulit. Alun-alun Selatan berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para
prajurit.
Kreaton Yogyakarta juga memiliki fungsi pada jaman dahulu karaton
sebagaoi tempat tinggal para raja dan bagian selatan terdapat tempat kesatria
sebai tempat sekolah putra-putra sultan. Putra-putra Sultan tempat sekolahnya
telah dipisah dengan sekolah rakyat karena memeng sudah aturan dari Keraton
tidak diperbolehkan sekolahannya bersamaan dengan sekolah rakyat. Saat ini
Keraton sebagai tempat wisata yang dikunjungi oleh Turis-turis dan para
pelajar.
13. Vihara Karangdjati
![]() |
Vihara Karangjati adalah vihara yang tertua di Yogyakarta, vihara ini
berdiri pada tahun 1950an hingga saat ini Vihara Karangjati masih berdiri dan
tetap konsisten memberikan pelayanan Dhamma kepada umat Buddha, pelayanan sosial, pelayanan pendidikan dan pelayanan ritual.
Vihara Karangjati merupakan bangunan
klasik, tak banyak berubah sejak
didirikan. Bagunan tersebut awalnya tidak terbayang namun sekarang bagunan
tersebut telah dijadikan tempat ibadah yang digunakan untuk beraktivitas
meningkatkan spiritual umat Buddha.
Diperkirakan bagunan induk vihara dibangun pada masa
Belanda, bangunan tersebut berfungsi sebagai
kandang sapi perah, sapi yang menghasilkan susu. Pada masa Belanada, daerah
tersebut belum perkampungan, tapi masih berupa lahan yang sangat luas, yang
merupakan areal perkebunan tebu, komoditas primadona Yogyakarta pada saat itu.
Dengan peralihan kekuasaan dari
Belanda ke Indonesia, lahan tersebut akhirnya dimiliki oleh Romo Among
Pradjarto, seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani, yang dikenal memiliki
pengetahuan yang winasis. Bhikkhu Jinaputta yang berperan penting
dalam alih fungsi Kandang sapi tersebut menjadi tempat ibadah. Pada tahun 1958
Bhikkhu Jinaputa berkenan menjalankan Vassa di Yogyakarta. Beliau kemudian
tinggal di Cetiya Buddha Kirti, Milik Bapak Tjan Tjoen Gie (Gunavarman
Boediharjo), sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha yang ada di
Yogyakarta waktu itu.
Umat Buddha
melaksanakan diskusi antara Bapak Tjan Tjoen Gie dan Romo Among Pradjarto
merupakan teman baik dalam diskusi spiritual, Bhikkhu Jinaputta di tempatkan di
bekas kandang sapi kepunyaan Romo Among Pradjarto.
Bekas Kandang sapi kemudian di
bersihkan, dan jadilah bekas kandang tersebut menjadi tempat vassa bagi Bhante
jinaputa. Selama Bhante Jinaputa tinggal di tempat tersebut, maka dimulailah
beberapa diskusi seputar agama Buddha. Karena kebanyakan yang datang adalah
orang-orang memang mempunyai latar belakang theosofi, kejawen dan ajaran-ajaran
kebatinan yang lain, maka tidaklah sulit untuk berdiskusi tentang ajaran
tersebut.
Sejak itu dimulai dari beberapa
orang mulai dikenallah Buddha Dhamma. Atas persetujuan dari pemilik rumah, Romo
Among, maka kegiatan keagamaan pun mulai diadakan. Bersamaan dengan itu,
delapan orang, yaitu Romo Among Pardjarto, Bpk. Drs Soeharto Djoyosoempeno, Bpk
Tjan Tjoen Gie, Bpk Djoeri Soekisno, Bpk Kho Tjie Hong, Bpk Tan Hok Lay, dan
Bpk Krismanto, membentuk kesepakatan untuk bersama-sama mengembangkan Buddha
Dhamma. Kemampuan beliau berdelapan dalam mengabdi untuk mengembangkan Buddha
Dhamma serta semangat yag tidak kenal lelah telah melahirkan banyak kemajuan.
Merekalah yang kemudian di kenal dengan “Djoyo 8” (Joyo Wolu).
Aktivitas di tempat tersebut
kemudian sudah benar-benar merupakan aktivitas Vihara. Sudah tidak dikenal lagi
sebagai kandang sapi. Kegiatan rutin berupa Puja Bakti setiap Rabu malam, serta
Purnomosidhen (setiap bulan Purnama) dilakukan. Kegiatan tersebut tentu saja
membutuhkan tempat yang lebih luas. Maka dibuatlah tempat tersebut menjadi
lebih pantas, dilengkapi dengan pagar dan gapura. Tahun 1962, dinyatakan secara
resmi menjadi lahirnya Vihara Buddha Karangdjati, meskipun aktivitasnya sudah
dimulai sebalum tahun tersebut.
Semakin banyak
umat yang datang serta perlu penataan secara lebih tertib, kemudian dibetuklah
sekretariat Vihara Karangdjati. Sebagai sekretaris yang pertama adalah Bpk Eko
Legowo. Sekarang lebih dikenal sebagai Dr.Ir. Eko Legowo Msc. Pengajar di
Universitas Brawijaya Malang, serta Ketua STAB Kertarajasa Malang. Selain
kegiatan rutin berupa Puja Bakti Rabu malam dan Purnomosidhen, ditambah juga
dengan puja bakti di hari-hari besar Nasional, Tahun baru Jawa (1 syuro) dan
kegiatan lain.
Vihara ini pernah
di daulat untuk menjadi tim pelaksana penyambutan kehadiran Bhikkhu Narada
Mahathera, atau lebih dikenal dengan Bhante Narada, seorang tokoh Buddhis yang
cukup dikenal di Dunia, berasal dari Sri Langka. Beliau datang ke Indonesia untuk mengajarkan agama Buddha di berbagai
tempat, termasuk kemudian meletakkan batu pertama calon bangunan ‘tempat biara
Buddha’ di depan Candi Mendut (Vihara Mendut saat ini). Sebelumnya tahun 1961
perwakilan dari International Buddhist Centre, Profesor Ananda Thera Bhikkhu
dari Srilanka juga berkunjung ke tempat tersebut.
Dalam berbagai
kesempatan umat dari Vihara Karangjati juga terlibat aktif dalam keorganisasian
Buddhis secara nasional, termasuk menjadi pelaksana Musyawarah nasional umat
Buddha pada tahun 1961 yang dihadiri delegasi dari berbagai kota dan propinsi
di Indonesia. Tahun 1969 dibentuk
juga Organisasi Wanita Buddhis bernama Perkumpulan Wanita Buddha Jogjakata,
yang saat itu diketuai oleh Ibu Ratna Dewi Suprapto.
Kegiatan terus berkembang pada
tahun 1974 Vihara Karangjati bahkan sanggup menerbitkan Buletin yang dikenal
dengan nama Darma Caraka. Di tahun tersebut generasi yang lebh muda seperti
Bapak Djoko Wintolo, Sekarang Ir Djoko Wintolo, pengajar di Fakultas Teknik
UGM, sudah mulai berkiprah untuk mengantikan generasi senelumnya. Pada saat itu
sering dilakukan latihan Yoga bagi yang berminat.
Tahun 1960-1970an, Vihara
Karangjati juga aktif memberikan pembinaan ke daerah lain, terutama di
Temanggung. Dari Vihara ini banyak dikirim dharmaduta-dharmaduta yang
dipimpin oleh romo Among Pradjarto untuk mengajarkan Buddha Dhamma.
Sebelum tahun 1980an lingkungan
sekitar Vihara masih pedesan, belum banyak kampung seperti sekarang. Lampu yang
digunakan adalah lampu Petromaks. Jika malam, musik malam berupa hembusan
angin, gemericik air, suara burung malam dan kodok di persawahan masih nyaring
terdengar.
Di tahun 1980an,
tokoh penting yang menjadi penggerak Vihara mulai menginjak usia tua, bahkan
sudah mulai meninggal, termasuk tokoh-tokoh dalam Djoyo 8. puncaknya adalah
meningglanya Romo Among Pradjarto, pemilik bangunan dan pemuka utama dari
Vihara ini, pada tahun 1992.
Vihara kemudian memasuki masa
sulit. Pertengahan 1990an adalah masa tersulit, ketika Vihara sudah kehilangan
tokoh panutan utama. Regenerasi tidak berjalan maksimal karena anak-anak dan
remaja tidak mendapat pendidikan agama Buddha secara formal di sekolah.
Kegiatan Vihara hampir dapat dikatakan sekedar untuk bertahan hidup.
Pada tahun 1998 di dukung oleh
bapak Supriyanto, Bapak Soetrisno dan kawan kawan Vihara mulai bangkit kembali.
Kegiatan mulai diaktifkan tidak sekedar kegiatan rutin, namun juga kegiatan
yang lain, bangunannya juga diperbaiki kembali. Bimbingan Dhamma dari para
Bhikkhu terutama dari Vihara Mendut, mulai dilakukan. Bimbingan tersebut bisa
diadadakan berupa diskusi, Dhammaclas atau seminar, tergantung kebutuhan.
Bhikkhu-Bhikkhu dari luar Negeri juga banyak yang datang, seperti Bhante
Dhammika Mahathera dari Australia, tokoh Bhikkhu yang cukup disegani di dunia.
Selain Puja bakti, meditasi rutin
setiap Jumat juga dilakukan, Perayaan hari besar agama Buddha dilakukan lebih
semarak. Perayaan yang lain, seperti tahun baru, kemerdekaan RI juga dilakukan
dengan berbagai varisai kegiatan. Anak anak difasilitasi melalui sekolah
minggu, remaja dan pemuda juga diwadahi dalam kegiatan kepumudaan, menambah
semarak kegiatan vihara. Kepercayaan yang sempat hilang, mulai didapatkan
kembali. Umat dari Vihara Karangjati aktif dalam kepanitiaan Waisak nasional
Borobudur 2006, Puja Bakti Agung Asadha 2006 di Candi mendut, Tim Karuna
Yogyakarta yang menangani penyaluran bantuan untuk gempa Yogya 27 mei. Bahkan
Desember 2003 Vihara Karangjati
merupakan markas panitia World Buddhis Sangha Concil Executife Conference, yang
diadakan di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang.













No comments:
Post a Comment