Melirik
Kehidupan Perumah Tangga dan Pabbajita
Setiap
manusia yang terlahir, menginginkan kebahagiaan dalam hidup, akan tetapi banyak
pernyataan tentang dimana kebahagiaan itu berada. Ada yang menyatakan bahwa
kebahagiaan didapat oleh seseorang ketika mempunyai banyak materi dan ada juga
yang menyatakan bahwa kebahagiaan bukan hanya sekedar mempunyai banyak materi.
Pada kenyataannya kebahagiaan memang tidak hanya diperoleh dari materi saja
namun segala sesuatunya kebanyakan membutuhkan materi (uang). Nenek moyang kita
tidak begitu mengejar materi karena zaman dulu mereka memakai sistem barter
(tukar-menukar barang) untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka tetapi zaman
modern ini dimana teknologi yang semakin berkembang materi (uang) menjadi
sesuatu yang cukup berkuasa dalam hidup ini. Ada yang menyatakan bahwa
segalanya dapat dibeli dengan uang dan ada juga yang menyatakan tidak semua
bisa dibeli dengan uang. Ketika sesuatu berwujud barang mungkin dapat dibeli
dengan uang, belum tentu dengan suatu kebahagiaan, sesuatu yang bersifat
batiniah. Inilah yang kadang kurang disadari oleh orang-orang disekitar kita.
Banyak fenomena yang dihadapi oleh setiap
orang dalam hidup ini dan setiap orang mempunyai bermacam-macam pandangan untuk
menjalani hidup ini. Cara-cara dalam menjalani hidup dianut dari sistem
kepercayaan (agama). Pengertian “agama” dalam Bahasa Pali berasal ari kata “a” yang artinya “tidak” dan “gama” artinya “kacau”. Agama dalam
Bahasa Jawa artinya “ageman” atau “pedoman”, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian
agama adalah suatu pegangan atau pedoman hidup agar tidak kacau, pedoman yang
dipandang benar yang merujuk pada sesuatu yang dianggap benar(baik) dan tidak
benar (buruk). Dalam agama Buddha sesuatu dapat dikatakan benar ketika sesuatu
itu dapat mengikis tiga akar kejahatan yang ada disetiap orang. Tiga akar
kejahatan itu adalah lobha
(keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin). Setiap orang
mengejar suatu kebahagiaan, akan tetapi setelah kebahagiaan itu didapat oleh mereka,
mereka seolah-olah tidak puas dan mengejar kebahagiaan yang lebih tinggi lagi
hingga kepuasann dalam dirinya terpenuhi. Tingkat kepuasan akan kebahagiaan
antara orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Dan ketika seseorang
terus mengejar kebahagiaan duniawi, tingkat kepuasan yang didapatnya hanya
sebatas kepuasan belaka yang berujung munculnya keinginan untuk kebahagiaan
lain. Inilah yang membuat orang-orang sibuk kesana kemari demi tercapai apa
yang diinginkannya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin menjadi seorang PNS
dia berjuang untuk mencapainya. Setelah menjadi PNS dia ingin punya kendaraan
(motor) sendiri, kemudian dia ingin punya rumah sendiri untuk perbekalan rumah,
muncul lagi keinginan untuk mempunyai istri, untuk mempunyai anak, untuk
menyejahterakan keluarganya, dan masih banyak keinginan yang akan muncul lagi
dalam hidupnya. Akankah nini kebahagiaan yang dicari dalam hidup ini, kehidupan
berkeluarga, suatu kehidupan yang dipenuhi keinginan duniawi atau mungkin sudah
terlanjur terjun dalam kehidupan berumah tangga. Memang pada kenyataannya hanya
beberapa orang yang menjalani kehidupan tanpa rumah menjalani bhikkhu
/bhikkhuni/athasilani. Kebanyakan orang mungkin tidak tahu dan belum mengerti
apa yang didapat dari menjalani hidup tak berumah tangga, meninggalkan hal-hal
yang sifatnya duniawi.
Dalam
Samanaphala Sutta, ketika Sang Buddha berada di Komarabhacca bersama dengan
1250 orang bhikkhu menjelaskan tentang kebahagiaan yang didapat dari
meninggalkan kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa rumah untuk menjawab
pertanyaan dari Raja Ajatasattu. Ketika seseorang menjalani kehidupan, tidak
memandang latar belakang mereka apakah dari kelurga petani, pekerja, budak, pabbajita
maka orang itu harus dihormati, diundang agar menerima jubah. Makanan,
penginapan, obat-obatan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ketika seseorang
menjalani pabbajita, ia menjaga pintu-pintu indrianya, terkendali indrianya,
sempurna dalam kesadaran dan perhatian jernih dalam berjalan maju atau mundur,
memandang kedepan atau kebelakang, dalam segala tindakannya, puas dengan satu
jubah untuk melindungi tubuhnya, puas dengan makanan secukupnya sehingga
seorang pabbajita mengalami dalam dirinya kebahagiaan tanpa cacat yang muncul
dari moralitas Ariya, ia sempurna dalam moralitas, sempurna dalam kesadaran dan
perhatian jernih, dan dengan cara ini seorang pabbajita puas. Selain itu,
kebahagiaan yang didapatnya setelah mengkonsentrasikan pikirannya pada satu
perhatian kokoh yang ada didepannya maka akan tercapai pikiran yang bebas dari
keraguan, murni, bersih dan mencapai jhana-jhana. Umat Buddha khususnya harus
mempelajari hal ini karena jika dhamma ajaran Sang Buddha hanya untuk dibahas
melalui ucapan demi memperoleh pehamahan itu sangat mudah, namun dalam
prakteknya belum dapat melaksanakanya. Contohnya mudah saja, pelaksanaan
pancasila Buddhis saja belum tentu dilaksanakan dengan sepenuhnya dalam keseharian, ada yang dilanggar. Kita
hendaknya berusaha, dalam hal ini adalah berusaha membuktikan ajaran Sang
Buddha, seperti yang sudah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam perenungan
sifat-sifat dhamma yaitu mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko). Ajaran Sang
Buddha untuk dibuktikan, bukan untuk diperbincangkan apalagi didebatkan.
Sifat-sifat dari dhamma itu sendiri sudah jelas bahwa dhamma telah sempurna
dibabarkan, berada sangat dekat, tak bersela waktu. Satu-satunya cara adalah
dibuktikan, di praktekkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat mengerti
dhamma. Ada kesan yang menarik dari masing-masing orang yang sudah pernah
menjalani kehidupan pabbajita. Memang mungkin ketika awal melihat para bhikkhu
yang gundul enggan untuk digundul, tetapi pada kenyataannya ada orang yang ikut
program pabbajja lebih dari satu kali. Padahal pertama ikut program pabbajja
karena adanya faktor yang mungkin dapat dikatakan terpaksa. Coba untuk
dibuktikan, manfaatkan waktu yang ada saat ini untuk kebajikan karena tidak ada
yang tahu kapan maut akan menjelang. Sadarkan diri kita dari kebohongan duniawi
yang semata-mata indah namun semua itu kan membawa derita jika kita tidak
mengerti arti hidup ini.
Akhirnya
sedikit pesan yang dapat disampaikan adalah lakukanlah perbuatan baik semaksimal
mungkin. Kebahagiaan ada di dalam diri kita, bukan diluar diri kita sendiri.
Kebahagiaan itu bukan dari materi saja, ada kebahagiaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kebahagiaan materi. Tidak perlu mencari kebahagiaan yang
tidak jelas diluar sana, ketika kita bisa sadar, penuh perhatian dan
mengendalikan yang ada pada diri kita,
puas dengan apa yang dimiliki maka kebahagiaan sudah berada pada kita. Dhamma
dari Sang Buddha merupakan ajaran yang sudah sempurna, jelas merupakan ajaran
nyata dan dapat dibuktikan oleh siapa saja bagi yang ingin membuktikan
kebenarannya. Agama Buddha mempunyai ciri khas sendiri dalam menjalani hidup ini, kita punya pedoman
masing-masing jangan sampai terjerumus dalam hal yang kurang baik. Mungkin
demikian yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat, jika ada kata-kata yang kurang berkenan mohon
abhaya dana, dan sepenuhnya ini adalah pemahaman dari penulis bukan kesalahan
dari dhamma Sang Buddha.
Sabbe satta bhavantu sukkhiitatta
Namo
Buddhaya.
No comments:
Post a Comment