Tuesday, April 21, 2015

Melirik kehidupan perumah tangga dan pabbajita

Melirik Kehidupan Perumah Tangga dan Pabbajita

Setiap manusia yang terlahir, menginginkan kebahagiaan dalam hidup, akan tetapi banyak pernyataan tentang dimana kebahagiaan itu berada. Ada yang menyatakan bahwa kebahagiaan didapat oleh seseorang ketika mempunyai banyak materi dan ada juga yang menyatakan bahwa kebahagiaan bukan hanya sekedar mempunyai banyak materi. Pada kenyataannya kebahagiaan memang tidak hanya diperoleh dari materi saja namun segala sesuatunya kebanyakan membutuhkan materi (uang). Nenek moyang kita tidak begitu mengejar materi karena zaman dulu mereka memakai sistem barter (tukar-menukar barang) untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka tetapi zaman modern ini dimana teknologi yang semakin berkembang materi (uang) menjadi sesuatu yang cukup berkuasa dalam hidup ini. Ada yang menyatakan bahwa segalanya dapat dibeli dengan uang dan ada juga yang menyatakan tidak semua bisa dibeli dengan uang. Ketika sesuatu berwujud barang mungkin dapat dibeli dengan uang, belum tentu dengan suatu kebahagiaan, sesuatu yang bersifat batiniah. Inilah yang kadang kurang disadari oleh orang-orang disekitar kita.
 Banyak fenomena yang dihadapi oleh setiap orang dalam hidup ini dan setiap orang mempunyai bermacam-macam pandangan untuk menjalani hidup ini. Cara-cara dalam menjalani hidup dianut dari sistem kepercayaan (agama). Pengertian “agama” dalam Bahasa Pali berasal ari kata “a” yang artinya “tidak” dan “gama” artinya “kacau”. Agama dalam Bahasa Jawa artinya “ageman” atau “pedoman”, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian agama adalah suatu pegangan atau pedoman hidup agar tidak kacau, pedoman yang dipandang benar yang merujuk pada sesuatu yang dianggap benar(baik) dan tidak benar (buruk). Dalam agama Buddha sesuatu dapat dikatakan benar ketika sesuatu itu dapat mengikis tiga akar kejahatan yang ada disetiap orang. Tiga akar kejahatan itu adalah lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin). Setiap orang mengejar suatu kebahagiaan, akan tetapi setelah kebahagiaan itu didapat oleh mereka, mereka seolah-olah tidak puas dan mengejar kebahagiaan yang lebih tinggi lagi hingga kepuasann dalam dirinya terpenuhi. Tingkat kepuasan akan kebahagiaan antara orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Dan ketika seseorang terus mengejar kebahagiaan duniawi, tingkat kepuasan yang didapatnya hanya sebatas kepuasan belaka yang berujung munculnya keinginan untuk kebahagiaan lain. Inilah yang membuat orang-orang sibuk kesana kemari demi tercapai apa yang diinginkannya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin menjadi seorang PNS dia berjuang untuk mencapainya. Setelah menjadi PNS dia ingin punya kendaraan (motor) sendiri, kemudian dia ingin punya rumah sendiri untuk perbekalan rumah, muncul lagi keinginan untuk mempunyai istri, untuk mempunyai anak, untuk menyejahterakan keluarganya, dan masih banyak keinginan yang akan muncul lagi dalam hidupnya. Akankah nini kebahagiaan yang dicari dalam hidup ini, kehidupan berkeluarga, suatu kehidupan yang dipenuhi keinginan duniawi atau mungkin sudah terlanjur terjun dalam kehidupan berumah tangga. Memang pada kenyataannya hanya beberapa orang yang menjalani kehidupan tanpa rumah menjalani bhikkhu /bhikkhuni/athasilani. Kebanyakan orang mungkin tidak tahu dan belum mengerti apa yang didapat dari menjalani hidup tak berumah tangga, meninggalkan hal-hal yang sifatnya duniawi.
Dalam Samanaphala Sutta, ketika Sang Buddha berada di Komarabhacca bersama dengan 1250 orang bhikkhu menjelaskan tentang kebahagiaan yang didapat dari meninggalkan kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa rumah untuk menjawab pertanyaan dari Raja Ajatasattu. Ketika seseorang menjalani kehidupan, tidak memandang latar belakang mereka apakah dari kelurga petani, pekerja, budak, pabbajita maka orang itu harus dihormati, diundang agar menerima jubah. Makanan, penginapan, obat-obatan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ketika seseorang menjalani pabbajita, ia menjaga pintu-pintu indrianya, terkendali indrianya, sempurna dalam kesadaran dan perhatian jernih dalam berjalan maju atau mundur, memandang kedepan atau kebelakang, dalam segala tindakannya, puas dengan satu jubah untuk melindungi tubuhnya, puas dengan makanan secukupnya sehingga seorang pabbajita mengalami dalam dirinya kebahagiaan tanpa cacat yang muncul dari moralitas Ariya, ia sempurna dalam moralitas, sempurna dalam kesadaran dan perhatian jernih, dan dengan cara ini seorang pabbajita puas. Selain itu, kebahagiaan yang didapatnya setelah mengkonsentrasikan pikirannya pada satu perhatian kokoh yang ada didepannya maka akan tercapai pikiran yang bebas dari keraguan, murni, bersih dan mencapai jhana-jhana. Umat Buddha khususnya harus mempelajari hal ini karena jika dhamma ajaran Sang Buddha hanya untuk dibahas melalui ucapan demi memperoleh pehamahan itu sangat mudah, namun dalam prakteknya belum dapat melaksanakanya. Contohnya mudah saja, pelaksanaan pancasila Buddhis saja belum tentu dilaksanakan dengan sepenuhnya  dalam keseharian, ada yang dilanggar. Kita hendaknya berusaha, dalam hal ini adalah berusaha membuktikan ajaran Sang Buddha, seperti yang sudah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam perenungan sifat-sifat dhamma yaitu mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko). Ajaran Sang Buddha untuk dibuktikan, bukan untuk diperbincangkan apalagi didebatkan. Sifat-sifat dari dhamma itu sendiri sudah jelas bahwa dhamma telah sempurna dibabarkan, berada sangat dekat, tak bersela waktu. Satu-satunya cara adalah dibuktikan, di praktekkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat mengerti dhamma. Ada kesan yang menarik dari masing-masing orang yang sudah pernah menjalani kehidupan pabbajita. Memang mungkin ketika awal melihat para bhikkhu yang gundul enggan untuk digundul, tetapi pada kenyataannya ada orang yang ikut program pabbajja lebih dari satu kali. Padahal pertama ikut program pabbajja karena adanya faktor yang mungkin dapat dikatakan terpaksa. Coba untuk dibuktikan, manfaatkan waktu yang ada saat ini untuk kebajikan karena tidak ada yang tahu kapan maut akan menjelang. Sadarkan diri kita dari kebohongan duniawi yang semata-mata indah namun semua itu kan membawa derita jika kita tidak mengerti arti hidup ini.
Akhirnya sedikit pesan yang dapat disampaikan adalah lakukanlah perbuatan baik semaksimal mungkin. Kebahagiaan ada di dalam diri kita, bukan diluar diri kita sendiri. Kebahagiaan itu bukan dari materi saja, ada kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebahagiaan materi. Tidak perlu mencari kebahagiaan yang tidak jelas diluar sana, ketika kita bisa sadar, penuh perhatian dan mengendalikan  yang ada pada diri kita, puas dengan apa yang dimiliki maka kebahagiaan sudah berada pada kita. Dhamma dari Sang Buddha merupakan ajaran yang sudah sempurna, jelas merupakan ajaran nyata dan dapat dibuktikan oleh siapa saja bagi yang ingin membuktikan kebenarannya. Agama Buddha mempunyai ciri khas sendiri dalam  menjalani hidup ini, kita punya pedoman masing-masing jangan sampai terjerumus dalam hal yang kurang baik. Mungkin demikian yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat, jika ada kata-kata yang kurang berkenan mohon abhaya dana, dan sepenuhnya ini adalah pemahaman dari penulis bukan kesalahan dari dhamma Sang Buddha.
Sabbe satta bhavantu sukkhiitatta

Namo Buddhaya.

No comments:

Post a Comment